Senja
mulai merona jingga. Sang mentari bersiap lelap dalam pelukan pekat malam.
Suasana kampung adat mulai sepi. Aku membereskan alat tenun dan memasukkannya
ke dalam rumah. Aku merasa lelah setelah seharian menenun sambil sesekali
melayani para wisatawan yang ingin membeli kain.
“Banyak
yang belanja hari ini ?” Ibuku menyapa pelan.
“Lumayan
inaq!” Jawabku singkat sambil menyerahkan lembaran
rupiah.
“Malam
ini kamu dandan yang cantik ya, Lalu
Wire mau datang midang.” Ucap Ibuku dan berlalu.
Aku
hanya terdiam, tak sepatah katapun ingin Kuucapkan. Tak ada gunanya juga aku melawan Ibuku.
Percuma. Sejak kematian ayahku, dia yang mengatur segalanya di rumah ini.
Berkuasa lebih tepatnya. Ibuku yang sejatinya bukan ibuku. Ia ibu tiriku. Ibu
tiri yang akan tetap Aku hormati. Menghormatinya sebagaimana janjiku kepada
ayahku sebelum ia pergi. Sebelum ia meninggalkanku dalam pekat malam itu. “Demi
adik-adikmu Dinde, hormatilah ia.” Pesan
yang diikuti anggukan berat dariku. Tapi janji tetaplah janji yang harus aku
tepati.
*****
Magrib berlalu bersama khusyuk yang
mengalun merdu. Suasana masjid kuno di kampung adat Sade sedikit sepi. Entah
kemana para pemuda dan anak-anak yang biasanya ramai. Seperti biasa, aku
menghabiskan jeda magrib dan isya dengan mengajar anak-anak mengaji. Aku hanya
bisa pulang sekali dalam sepekan untuk itu. Tapi kali ini aku bisa mengajar
setiap malam karena sedang liburan panjang akhir semester. Aku menjadi
satu-satunya perempuan yang kuliah di tempat ini. Semua teman-teman seusiaku
telah menikah dan punya anak. Semuanya, tanpa terkecuali. Tapi aku memilih jalan yang
lain. Kuliah ke Mataram. Pilihan yang membuatku harus mendapat gelar istimewa
di kampung ini, “perawan tua”. Gelar yang sungguh menyesakkan batinku. Tapi
inilah realita yang harus aku hadapi setiap pulang ke kampung ini. Menemukan
remaja putri usia belasan tahun tapi telah menggendong bayi. Menemukan
perempuan yang kehilangan cita-cita dan hanya mampu menatap atap ilalang setiap
hari. Menyaksikan perempuan yang terlahir di bawah alat tenun dan mati di
tempat yang sama. Alat tenun seolah merantai dan memenjara tubuh mereka. Lebih
dari itu, alat tenun itu dengan kejam membunuh mimpi mereka. Perempuan kampung
adat, hidup dan mati sebagai penenun.
Aku berharap waktu bisa berjalan
lebih lamban. Aku malas kembali ke rumah. Andai bisa, aku lebih memilih untuk
tidur di masjid saja. “Lalu Wire mau datang midang.” Kalimat Ibuku terasa
menakutkan. Midang adalah tradisi suku sasak Lombok saat seorang lelaki
menyukai seorang gadis. Sang lelaki akan datang ke rumah gadis pada malam hari.
Itu adalah hal biasa bagi teman-temanku, tapi tidak bagiku.
“Kau
kenapa?, ayo kita pulang.” Manik
membuyarkan lamunanku.
“Oh
iya.” Aku beranjak bangun sambil tersenyum
menatap Manik, sahabatku. Perempuan yang baru berusia 18 tahun. Perempuan yang
masih terlalu muda untuk menjalani hidup yang begitu berat. Dia harus
membesarkan anaknya seorang diri setelah
suaminya yang pergi ke Malaysia tidak pernah terdengar kabarnya. “Janda
Malaysia alias jamal,” adalah gelar yang sering disematkan padanya.
“Bagaimana
kuliahmu?” Tanya Manik membuyarkan sepi sepanjang jalan pulang.
“Alhamdulillah
baik.” Aku menjawab sambil tersenyum.
“Kamu
beruntung bisa kuliah, sedangkan aku.”. Terdengar ada desah nafas yang begitu
berat di ujung kalimat yang ia ucapkan. Ada beban hidup yang seolah menindih
pundaknya. Meski binar matanya selalu berusaha sembunyikan semuanya, tapi tidak
malam ini. Aku sangat tau bahwa ia begitu lelah menghadapi semua yang terjadi.
“Kamu
juga beruntung Manik, kamu memiliki Sekar anakmu. Ia tumbuh menjadi anak yang
cantik sepertimu.” Aku berusaha mengingatkannya. Aku tak tau apakah kalimatku
membuatnya terhibur atau tidak, tapi aku tau dengan pasti bahwa Sekarlah yang
mampu membuatnya kuat dan tegar menjalani hidupnya.
Di persimpangan jalan kami berpisah.
Aku menatap jauh hingga bayangan Manik menghilang dalam pekat malam. Ada banyak
hal yang berkecamuk di dalam benakku. Betapa aku ingin mengubah paradigma berpikir
masyarakat kampung adat. Aku ingin semua perempuan di kampung ini bisa memiliki
mimpi. Aku ingin kelak ada banyak perempuan yang sekolah dan tidak mematahkan mimpi mereka sebagai pasak tenun.
******
“Assalamualaikum.”
Kuucapkan salam ketika sampai rumah.
“Wa’alaikumussalam.”
Aku sedikit kaget mendengar suara laki-laki dari arah berugak.
Aku
segera masuk ke dalam rumah. Aku menemukan Ibuku berdiri di depan pintu masuk
kamar.
“Kenapa
lama sekali?. Kamu dandan yang cantik dan nggak usah pakai jilbab besarmu itu.
Pakai jilbab kecil saja, kalau perlu buka saja jilbabmu itu.” Ibuku mulai
mendikte. Dan aku hanya diam mendengar semua celotehnya. Aku tak ingin
menatapnya karena ada satu titik di sudut mataku. Aku sedih sekali mendengar
semua kalimatnya.
“Apa
yang salah dengan jilbabku.” Hatiku berbisik kelu. Lantas masuk ke dalam kamar.
Aku terduduk di atas tikar pandan. Menatap sepi pagar bambu. Aku ingin sekali
berlalu bersama udara yang melewati celah-celah pagar. Aku hanya terpaku. Entah
apa yang aku fikirkan, semua terasa berkecamuk menjadi satu. Bayangan ayahku
berkelebat dalam pandanganku. “Jadilah wanita sholehah” pesan ayah terngiang di
telingaku.
“Dinde,
kenapa kau lama sekali. Lalu Wire sudah lama menunggu. Keluarlah!.” Suara ibuku
terdengar agak ditekan. Aku tau ia sudah mulai kesal.
Aku
keluar dengan wajah tertunduk. Aku tidak mau menatap mata ibuku yang nanar
melihatku keluar dengan kostum biasa. Jilbab lebar lengkap dengan kaos kaki.
Aku sangat tau, malam ini akan terjadi petaka di rumahku. Aku melangkah ke
berugak tempat Lalu Wire duduk. Ia datang seorang diri. Aku duduk di ujung
berugak, tertunduk dan tanpa sepatah katapun.
“Jauh
sekali duduknya,” ucap Lalu Wire memulai
pembicaraan. Dan aku hanya terdiam.
“Dinde
sedang libur semester ya?”.
“Iya.”
“Dinde
sudah punya pacar?”. Lelaki itu begitu to
the point. Aku tak suka lelaki seperti itu.
“Saya
tidak pacaran.”
Lantas ia bertanya ini dan itu. Semua
pertanyaan yang hanya aku jawab sekenanya. Aku tidak mau memberi harapan palsu
pada lelaki itu. Aku tau betul memberi harapan hanya akan berujung petaka bagiku.
Di sini, pernikahan menggunakan adat kawin lari. Ia bisa saja melarikanku paksa
jika kuberi harapan. Aku tidak mau itu terjadi dalam hidupku. Aku tidak mau
dilarikan oleh lelaki beristri. Aku tidak mau menghabiskan hidupku bersama
lelaki yang saban hari mabuk dan menghabiskan hari di depan meja judi. Tidak.
Dengan wajah kecewa Lalu Wire pulang. Dan
Aku sangat tau bahwa kecewa itu akan
menjadi sumber bencana bagiku malam ini. Saat aku masuk ke dalam rumah,
tiba-tiba Ibuku menarik jilbabku dengan kasar.
“Ini
yang membuat kamu jadi perawan tua!”
Aku
begitu kaget. Nanar bola mata perempuan di hadapanku membuatku seolah tertelan
ke dalamnya. Aku hanya tertunduk. Kali ini aku tidak sanggup menahan emosiku.
Semua terluapkan lewat tetes air mataku yang tak sanggup kutahan. Air mata yang
begitu lama kering setelah aku kehilangan ayahku.
“Dinde
ingin menjadi perempuan sholehah seperti pesan ayah.”
Itu
saja kalimat yang terlontar dari mulutku. Perempuan itu tetap saja menatapku
nanar. Ada amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Seolah ia ingin memuntahkan
bara api. Mungkin ia ingin memukulku dengan kejam seperti saat aku kecil dulu.
Mungkin ia ingin mengusirku dari rumah ini sama seperti saat ayahku
meninggalkanku pergi memancing malam hari. Lantas Aku hanya meringkuk bersama
tangis hingga terlelap di berugak yang dingin di luar rumah. Mungkin. Lalu aku
masuk ke dalam kamar. Tanpa sepatah katapun.
“Lalu
Wire ingin menikah denganmu. Sudah tidak ada laki-laki bujang di kampung ini
yang seusia denganmu.”
Kalimat
itu sekonyong-konyong berhamburan dari mulutnya. Seperti air bah yang tiba-tiba
melumatkan tubuhku. Sesaat membunuh kesadaranku. Aku roboh, bersimpuh di pojok
pagar bambu kamarku. Bayangan ayahku berkelebat di pelupuk mataku.
“Amaq,,bantu Dinde. Apa yang harus Dinde
lakukan?” Aku membatin.
Aku begitu merindukan sosok ibuku saat
ini. Meski aku mengenalnya hanya lewat cerita. Setidaknya semua orang berucap
tentang kebaikannya. Aku tak pernah merasakan belaiannya, tapi aku tau betapa
ia sangat lembut. Aku tak pernah melihatnya, tapi aku tau ia tak akan pernah
memuntahkan bara panas saat ia memarahiku. Aku sangat merindukannya. Ibuku. Ia
menghembuskan nafas terakhir tepat saat tangis pertamaku pecah malam. Aku tau
ia di syurga kini. Maka Aku harus menemukan jalan menujunya. Dan air mataku
benar-benar menganak sungai malam ini. Rongga dadaku dipenuhi rindu yang
bertalu-talu. Hingga aku terlelap.
******
Subuh
ini, aku terbangun bersama geliat yang terasa melelahkan. Rongga dadaku masih
terasa sesak. Sehabis ibadah, aku langsung bergegas menyalakan tungku. Di
kampungku, tungku berada di dalam kamar. Kami masih memasak dengan tungku dari
tanah liat. Memasak menggunakan kayu bakar. Kampung ini masih sangat
tradisional walaupun di luar sana sudah bergelimang modernisasi. Kepul asap
dari kayu yang sedikit basah akibat gerimis semalam memenuhi paru-paruku. Aku
terbatuk-batuk sambil meniup api.
Seperti
sebuah ritual di kampung ini, seusai bergelut di depan tungku kayu para
perempuan akan langsung mengambil alat tenun. Sejak kecil kami sudah belajar
menenun. Seperti sebuah aturan tidak tertulis. Jika tak bisa menenum maka perempuan di sini
belum di anggap dewasa. Bahkan ia tak boleh menikah.
“Nanti
malam, Lalu Wire akan midang lagi.”
Sekali
lagi ibuku merusak hari dengan kalimatnya. Dan aku selalu punya satu cara dalam
menghadapinya. Diam. Aku pura-pura tak mendengar kalimatnya dengan sibuk
mengeluarkan alat tenun dan benang. Aku menata kain tenun di berugak yang kami
jadikan tempat jualan. Aku tak mau berdebat dengan perempuan itu, aku akan
menahan semua perasaanku hingga liburan selesai. Karena setelah itu aku akan
kembali ke kota Mataram untuk melanjutkan kuliahku. Aku harus bersabar
menghadapi semua ini.
Aku
melihat Anjung tetanggaku, juga melakukan kesibukan yang sama denganku. Dengan
tubuh mungilnya, ia mengangkat alat tenun. Usianya baru 10 tahun. Tiap hari ia
habiskan bersama alat-alat tenun itu. Ia sekolah hanya sampai kelas 2 SD. Ia
berhenti sekolah tanpa alasan. Ia hanya ingin menjadi penenun. “Buat apa kaq
Dinde sekolah jauh ke Mataram? Nanti juga
akan menjadi penenun”. Celoteh Anjung padaku di suatu malam. “Agar kaq Dinde
jadi penenun yang pinter!” Jawabku padanya saat itu. Itu seperti doktrin yang
sudah mengakar turun-temurun. Semua perempuan kampung ini hanya akan menjadi
penenun, jadi tidak perlu sekolah.
Jarak
beberapa rumah dari rumahku, Aku menatap kelu Lale Gande. Ia dengan tubuh
tuanya juga melakukan ritual yang sama, menenun. Ia tidak menikah hingga
usianya hampir 40 tahun. Ia mosot,
sebutan untuk perawan tua yang tidak akan menikah. Betapa pilu menatap hidupnya
yang dihiasi kesendirian. Menjadi bahan olokan dan pembicaraan.
“Kamu
gak mau kan memiliki nasib yang sama dengan Lale Gande.”
Ternyata
Ibuku melihatku menatap lama ke arah rumah Lale Gande. Ia pasti melihat rasa
iba yang terpancar dari mataku kepada perempuan itu.
“Makanya,
kamu harus mau menikah dengan Lalu Wire. Usiamu sudah 20 tahun, sudah tidak ada
lelaki bujang yang seusia denganmu.”
Betapa
sempit pergaulan Ibuku semua ibu di kampung ini. Mereka tidak tau bahwa di luar
sana ada begitu banyak pemuda yang seusia denganku dan belum menikah. Mereka
tidak tau bahwa ada banyak lelaki keren di luar sana. Mereka terkungkung oleh
pembatas kampung ini. Dan melebihi semuanya, mereka selalu lupa bahwa jodoh
setiap manusia telah diatur oleh yang maha kuasa.
“Dinde
tidak mau menikah dengan Lalu Wire. Dinde hanya mau menikah dengan lelaki
sholeh. Bukan seorang pemabuk dan penjudi.”
Entah
apa yang ia ucapkan setelah mendengar kalimatku. Aku tak ingin mendengarnya.
Aku hanya tau satu hal bahwa ia sangat marah. Aku lebih memilih untuk
menyibukkan diri dengan alat tenun di hadapanku. Memenuhi gendang telingaku
dengan suara alat tenun yang bertalu-talu agar aku tak mendengar semua sumpah
serapahnya kepadaku. Dan kurasakan ada setitik air mata jatuh mengenai kain
tenunku. Buru-buru aku mengusapnya.
*******
Malam memasuki tirai kelamnya. Aku
mulai takut dengan kalimat Ibuku. “Bagaimana jika Lalu Wire benar-benar ingin
menikah denganku? Bagaimana jika ia menculikku dengan paksa?” Aku tidak bisa
membayangkan semua itu terjadi padaku. Aku harus menghindarinya semampuku.
“Kenapa
kamu melamun?” Manik mengagetkanku.
“Eh,
iya. Maaf, maaf.” Aku langsung membantu Manik mengajari anak-anak mengaji.
Pikaranku
berkecamuk. Aku harus bicara dengan ibuku. Aku harus membuatnya paham dengan
pilihan hidup yang ingin kujalani. Sepulang dari masjid, aku akan berusaha
menghadapinya dengan penuh kedewasaan.
“Kau
kenapa?” ujar manik saat kami pulang.
“Aku
sedang bingung, ibuku memaksaku menikah dengan Lalu Wire.”
“Apa?.
Jangan mau. Dia tidak pantas untuk gadis sebaik kamu, Dinde. Hampir semua gadis
cantik di kampong ini ingin ia nikahi. Kau tau kan?”
Aku
hanya mengangguk. Semua orang sudah tau kelakuan lelaki tua itu. Dan aku juga
tidak akan mau tunduk dengan keinginan ibuku yang satu ini. Tidak akan.
“Manik,
bagaimana jika malam ini aku menginap di rumahmu?”
“Sebaiknya
jangan, ibumu pasti akan marah. Lebih baik kau bicara dengannya dari hati ke
hati tentang hal ini”.
Kemudian
kami berpisah di persimpangan jalan. Aku menatap tubuh manik hingga menghilang
di belokan. Aku mencintainya, sahabatku.
Dari kejauhan Aku melihat Lalu Wire
telah duduk di berugak depan rumahku. Aku memperlambat langkahku. Setelah
mengucapkan salam, aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku tidak ingin keluar.
“Dinde,
cepat keluar!” Ibuku mulai mengamuk.
Aku
menutup telingaku. Kali ini saja, aku ingin melawannya. Kali ini saja, aku
ingin berdiri di atas keputusanku sendiri. Ini tentang hidupku. Ini tentang
masa depan yang akan aku perjuangkan.
******
Beberapa
jam telah berlalu. Ibuku tiba-tiba menggedor pintu kamarku. Aku kaget dan
bergegas membukanya. Ia masuk dan mengambil barang-barangku. Melemparkannya
dengan kasar ke luar rumah. Mukanya terlihat merah karena marah.
“Pergi
dari rumah ini!. Kamu sudah mempermalukanku. Kamu mau sekolah sampai kemanapun,
kamu akan tetap menjadi penenun!.”
Kalimat
itu terdengar seperti kutukan. Aku masih terpaku di tempatku. Aku tak beranjak
seincipun. Ini adalah rumahku, rumah ayahku, rumah ibuku. Dan perempuan ini mengusirku.
“Tidak.
Aku tidak akan pergi.” Aku menatapnya tajam. Untuk pertama kali dalam hidupku,
aku membenamkan tatapan mataku ke dalam bola matanya.
“Jika
kamu tidak pergi, maka aku yang akan pergi.” Ucapnya lantang dengan tatapan
yang semakin nanar.
Aku
goyah. Aku melihat tiga orang adikku. Jika perempuan ini pergi, tidak akan ada
yang mengurus mereka. Aku pun melangkah tanpa kata. Mengambil semua
barang-barangku yang telah dibuang keluar. Air mataku tak dapat kubendung. Aku
serasa tak berpijak pada tanah. Dengan langkah goyah aku melangkah di bawah
cahaya rembulan. Bintang-bintang bersinar seolah menghiburku. Langit tak
sekelam hatiku mala mini. Aku gontai, aku melangkah menuju makam ayah dan
ibuku. Aku bersimpuh di antara dua gundukan tanah itu.
“Ayah,
ibu, maafkan Dinde karena datang malam begini. Maafkan Dinde karena belum bisa
menjadi anak berbakti bagi ibu tiri Dinde.” Suaraku tercekat bersama air mata
yang deras mengalir. Rasanya aku ingin sekali memeluk mereka detik ini. Tapi
hanya tanah ini yang ada di hadapanku kini.
“Ayah,
ibu, Dinde rindu. Dinde mencintai Ayah dan ibu. Dinde pamit, Dinde akan ke Luar
negri. Dinde terpilih untuk mengikuti pertukaran pemuda antar negara. Dinde
akan ke sJepang. Ayah dan ibu bangga kan?. Maafkan Dinde jika tidak menjenguk
Ayah dan Ibu di sini tapi kita akan tetap bertemu di setiap do’a.”
Aku
bangkit sambil mengusap air mataku. Aku melangkah tanpa sekalipun menoleh ke
belakang. Malam ini, aku berjanji pada diriku bahwa perempuan kampung ini tak
hanya bisa menjadi penenun. Bahwa mereka bisa menjadi perempuan cerdas yang
juga mencintai budayanya. Tidak hanya menjadi perempuan pasak tenun. Lahir dan
mati di dekat alat tenun.
6 komentar
Keren sekali mbak Em :)
Jiahhhh....ini labelx cerpen lhoo...hehe..thanks ya dah berkunjung...:)
Mantap
Jepang.... Selamat tinggal lalu Wire :)
Sivia...thanks ya..:)
Ely...say good bye..dadah ke kamera..LOL