Kamis, 14 Mei 2015

Perempuan Pasak tenun


Senja mulai merona jingga. Sang mentari bersiap lelap dalam pelukan pekat malam. Suasana kampung adat mulai sepi. Aku membereskan alat tenun dan memasukkannya ke dalam rumah.  Aku merasa  lelah setelah seharian menenun sambil sesekali melayani para wisatawan yang ingin membeli kain.
“Banyak yang belanja hari ini ?” Ibuku menyapa pelan.
“Lumayan inaq!”  Jawabku singkat sambil menyerahkan lembaran rupiah.
“Malam ini kamu dandan yang cantik ya, Lalu  Wire mau datang midang.”  Ucap Ibuku dan berlalu.

Aku hanya terdiam, tak sepatah katapun ingin Kuucapkan.  Tak ada gunanya juga aku melawan Ibuku. Percuma. Sejak kematian ayahku, dia yang mengatur segalanya di rumah ini. Berkuasa lebih tepatnya. Ibuku yang sejatinya bukan ibuku. Ia ibu tiriku. Ibu tiri yang akan tetap Aku hormati. Menghormatinya sebagaimana janjiku kepada ayahku sebelum ia pergi. Sebelum ia meninggalkanku dalam pekat malam itu. “Demi adik-adikmu Dinde, hormatilah ia.”  Pesan yang diikuti anggukan berat dariku. Tapi janji tetaplah janji yang harus aku tepati.
*****
            Magrib berlalu bersama khusyuk yang mengalun merdu. Suasana masjid kuno di kampung adat Sade sedikit sepi. Entah kemana para pemuda dan anak-anak yang biasanya ramai. Seperti biasa, aku menghabiskan jeda magrib dan isya dengan mengajar anak-anak mengaji. Aku hanya bisa pulang sekali dalam sepekan untuk itu. Tapi kali ini aku bisa mengajar setiap malam karena sedang liburan panjang akhir semester. Aku menjadi satu-satunya perempuan yang kuliah di tempat ini. Semua teman-teman seusiaku telah menikah dan punya anak. Semuanya,  tanpa terkecuali. Tapi aku memilih jalan yang lain. Kuliah ke Mataram. Pilihan yang membuatku harus mendapat gelar istimewa di kampung ini, “perawan tua”. Gelar yang sungguh menyesakkan batinku. Tapi inilah realita yang harus aku hadapi setiap pulang ke kampung ini. Menemukan remaja putri usia belasan tahun tapi telah menggendong bayi. Menemukan perempuan yang kehilangan cita-cita dan hanya mampu menatap atap ilalang setiap hari. Menyaksikan perempuan yang terlahir di bawah alat tenun dan mati di tempat yang sama. Alat tenun seolah merantai dan memenjara tubuh mereka. Lebih dari itu, alat tenun itu dengan kejam membunuh mimpi mereka. Perempuan kampung adat, hidup dan mati sebagai penenun.
            Aku berharap waktu bisa berjalan lebih lamban. Aku malas kembali ke rumah. Andai bisa, aku lebih memilih untuk tidur di masjid saja. “Lalu Wire mau datang midang.” Kalimat Ibuku terasa menakutkan. Midang adalah tradisi suku sasak Lombok saat seorang lelaki menyukai seorang gadis. Sang lelaki akan datang ke rumah gadis pada malam hari. Itu adalah hal biasa bagi teman-temanku, tapi tidak bagiku. 
“Kau kenapa?, ayo kita pulang.”  Manik membuyarkan lamunanku.
“Oh iya.”  Aku beranjak bangun sambil tersenyum menatap Manik, sahabatku. Perempuan yang baru berusia 18 tahun. Perempuan yang masih terlalu muda untuk menjalani hidup yang begitu berat. Dia harus membesarkan anaknya seorang diri  setelah suaminya yang pergi ke Malaysia tidak pernah terdengar kabarnya. “Janda Malaysia alias jamal,” adalah gelar yang sering disematkan padanya.
“Bagaimana kuliahmu?” Tanya Manik membuyarkan sepi sepanjang jalan pulang.
“Alhamdulillah baik.” Aku menjawab sambil tersenyum.
“Kamu beruntung bisa kuliah, sedangkan aku.”. Terdengar ada desah nafas yang begitu berat di ujung kalimat yang ia ucapkan. Ada beban hidup yang seolah menindih pundaknya. Meski binar matanya selalu berusaha sembunyikan semuanya, tapi tidak malam ini. Aku sangat tau bahwa ia begitu lelah menghadapi semua yang terjadi.
“Kamu juga beruntung Manik, kamu memiliki Sekar anakmu. Ia tumbuh menjadi anak yang cantik sepertimu.” Aku berusaha mengingatkannya. Aku tak tau apakah kalimatku membuatnya terhibur atau tidak, tapi aku tau dengan pasti bahwa Sekarlah yang mampu membuatnya kuat dan tegar menjalani hidupnya.
            Di persimpangan jalan kami berpisah. Aku menatap jauh hingga bayangan Manik menghilang dalam pekat malam. Ada banyak hal yang berkecamuk di dalam benakku. Betapa aku ingin mengubah paradigma berpikir masyarakat kampung adat. Aku ingin semua perempuan di kampung ini bisa memiliki mimpi. Aku ingin kelak ada banyak perempuan yang sekolah dan tidak  mematahkan mimpi mereka sebagai pasak tenun.
******
“Assalamualaikum.” Kuucapkan salam ketika sampai rumah.
“Wa’alaikumussalam.” Aku sedikit kaget mendengar suara laki-laki dari arah berugak.
Aku segera masuk ke dalam rumah. Aku menemukan Ibuku berdiri di depan pintu masuk kamar.
“Kenapa lama sekali?. Kamu dandan yang cantik dan nggak usah pakai jilbab besarmu itu. Pakai jilbab kecil saja, kalau perlu buka saja jilbabmu itu.” Ibuku mulai mendikte. Dan aku hanya diam mendengar semua celotehnya. Aku tak ingin menatapnya karena ada satu titik di sudut mataku. Aku sedih sekali mendengar semua kalimatnya.
“Apa yang salah dengan jilbabku.” Hatiku berbisik kelu. Lantas masuk ke dalam kamar. Aku terduduk di atas tikar pandan. Menatap sepi pagar bambu. Aku ingin sekali berlalu bersama udara yang melewati celah-celah pagar. Aku hanya terpaku. Entah apa yang aku fikirkan, semua terasa berkecamuk menjadi satu. Bayangan ayahku berkelebat dalam pandanganku. “Jadilah wanita sholehah” pesan ayah terngiang di telingaku.
“Dinde, kenapa kau lama sekali. Lalu Wire sudah lama menunggu. Keluarlah!.” Suara ibuku terdengar agak ditekan. Aku tau ia sudah mulai kesal.
Aku keluar dengan wajah tertunduk. Aku tidak mau menatap mata ibuku yang nanar melihatku keluar dengan kostum biasa. Jilbab lebar lengkap dengan kaos kaki. Aku sangat tau, malam ini akan terjadi petaka di rumahku. Aku melangkah ke berugak tempat Lalu Wire duduk. Ia datang seorang diri. Aku duduk di ujung berugak, tertunduk dan tanpa sepatah katapun.
“Jauh sekali duduknya,”  ucap Lalu Wire memulai pembicaraan. Dan aku hanya terdiam.
“Dinde sedang libur semester ya?”.
“Iya.”
“Dinde sudah punya pacar?”. Lelaki itu begitu to the point. Aku tak suka lelaki seperti itu.
“Saya tidak pacaran.”
      Lantas ia bertanya ini dan itu. Semua pertanyaan yang hanya aku jawab sekenanya. Aku tidak mau memberi harapan palsu pada lelaki itu. Aku tau betul memberi harapan hanya akan berujung petaka bagiku. Di sini, pernikahan menggunakan adat kawin lari. Ia bisa saja melarikanku paksa jika kuberi harapan. Aku tidak mau itu terjadi dalam hidupku. Aku tidak mau dilarikan oleh lelaki beristri. Aku tidak mau menghabiskan hidupku bersama lelaki yang saban hari mabuk dan menghabiskan hari di depan meja judi. Tidak.
      Dengan wajah kecewa Lalu Wire pulang. Dan Aku  sangat tau bahwa kecewa itu akan menjadi sumber bencana bagiku malam ini. Saat aku masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Ibuku menarik jilbabku dengan kasar.
“Ini yang membuat kamu jadi perawan tua!”
Aku begitu kaget. Nanar bola mata perempuan di hadapanku membuatku seolah tertelan ke dalamnya. Aku hanya tertunduk. Kali ini aku tidak sanggup menahan emosiku. Semua terluapkan lewat tetes air mataku yang tak sanggup kutahan. Air mata yang begitu lama kering setelah aku kehilangan ayahku.
“Dinde ingin menjadi perempuan sholehah seperti pesan ayah.”
Itu saja kalimat yang terlontar dari mulutku. Perempuan itu tetap saja menatapku nanar. Ada amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Seolah ia ingin memuntahkan bara api. Mungkin ia ingin memukulku dengan kejam seperti saat aku kecil dulu. Mungkin ia ingin mengusirku dari rumah ini sama seperti saat ayahku meninggalkanku pergi memancing malam hari. Lantas Aku hanya meringkuk bersama tangis hingga terlelap di berugak yang dingin di luar rumah. Mungkin. Lalu aku masuk ke dalam kamar. Tanpa sepatah katapun.
“Lalu Wire ingin menikah denganmu. Sudah tidak ada laki-laki bujang di kampung ini yang seusia denganmu.”
Kalimat itu sekonyong-konyong berhamburan dari mulutnya. Seperti air bah yang tiba-tiba melumatkan tubuhku. Sesaat membunuh kesadaranku. Aku roboh, bersimpuh di pojok pagar bambu kamarku. Bayangan ayahku berkelebat di pelupuk mataku.
Amaq,,bantu Dinde. Apa yang harus Dinde lakukan?” Aku membatin.
       Aku begitu merindukan sosok ibuku saat ini. Meski aku mengenalnya hanya lewat cerita. Setidaknya semua orang berucap tentang kebaikannya. Aku tak pernah merasakan belaiannya, tapi aku tau betapa ia sangat lembut. Aku tak pernah melihatnya, tapi aku tau ia tak akan pernah memuntahkan bara panas saat ia memarahiku. Aku sangat merindukannya. Ibuku. Ia menghembuskan nafas terakhir tepat saat tangis pertamaku pecah malam. Aku tau ia di syurga kini. Maka Aku harus menemukan jalan menujunya. Dan air mataku benar-benar menganak sungai malam ini. Rongga dadaku dipenuhi rindu yang bertalu-talu. Hingga aku terlelap.
******
Subuh ini, aku terbangun bersama geliat yang terasa melelahkan. Rongga dadaku masih terasa sesak. Sehabis ibadah, aku langsung bergegas menyalakan tungku. Di kampungku, tungku berada di dalam kamar. Kami masih memasak dengan tungku dari tanah liat. Memasak menggunakan kayu bakar. Kampung ini masih sangat tradisional walaupun di luar sana sudah bergelimang modernisasi. Kepul asap dari kayu yang sedikit basah akibat gerimis semalam memenuhi paru-paruku. Aku terbatuk-batuk sambil meniup api.
Seperti sebuah ritual di kampung ini, seusai bergelut di depan tungku kayu para perempuan akan langsung mengambil alat tenun. Sejak kecil kami sudah belajar menenun. Seperti sebuah aturan tidak tertulis.  Jika tak bisa menenum maka perempuan di sini belum di anggap dewasa. Bahkan ia tak boleh menikah.
“Nanti malam, Lalu Wire akan midang lagi.”
Sekali lagi ibuku merusak hari dengan kalimatnya. Dan aku selalu punya satu cara dalam menghadapinya. Diam. Aku pura-pura tak mendengar kalimatnya dengan sibuk mengeluarkan alat tenun dan benang. Aku menata kain tenun di berugak yang kami jadikan tempat jualan. Aku tak mau berdebat dengan perempuan itu, aku akan menahan semua perasaanku hingga liburan selesai. Karena setelah itu aku akan kembali ke kota Mataram untuk melanjutkan kuliahku. Aku harus bersabar menghadapi semua ini.
Aku melihat Anjung tetanggaku, juga melakukan kesibukan yang sama denganku. Dengan tubuh mungilnya, ia mengangkat alat tenun. Usianya baru 10 tahun. Tiap hari ia habiskan bersama alat-alat tenun itu. Ia sekolah hanya sampai kelas 2 SD. Ia berhenti sekolah tanpa alasan. Ia hanya ingin menjadi penenun. “Buat apa kaq Dinde sekolah jauh ke Mataram?  Nanti juga akan menjadi penenun”. Celoteh Anjung padaku di suatu malam. “Agar kaq Dinde jadi penenun yang pinter!” Jawabku padanya saat itu. Itu seperti doktrin yang sudah mengakar turun-temurun. Semua perempuan kampung ini hanya akan menjadi penenun, jadi tidak perlu sekolah.
Jarak beberapa rumah dari rumahku, Aku menatap kelu Lale Gande. Ia dengan tubuh tuanya juga melakukan ritual yang sama, menenun. Ia tidak menikah hingga usianya hampir 40 tahun. Ia mosot, sebutan untuk perawan tua yang tidak akan menikah. Betapa pilu menatap hidupnya yang dihiasi kesendirian. Menjadi bahan olokan dan pembicaraan.
“Kamu gak mau kan memiliki nasib yang sama dengan Lale Gande.”
Ternyata Ibuku melihatku menatap lama ke arah rumah Lale Gande. Ia pasti melihat rasa iba yang terpancar dari mataku kepada perempuan itu.
“Makanya, kamu harus mau menikah dengan Lalu Wire. Usiamu sudah 20 tahun, sudah tidak ada lelaki bujang yang seusia denganmu.”
Betapa sempit pergaulan Ibuku semua ibu di kampung ini. Mereka tidak tau bahwa di luar sana ada begitu banyak pemuda yang seusia denganku dan belum menikah. Mereka tidak tau bahwa ada banyak lelaki keren di luar sana. Mereka terkungkung oleh pembatas kampung ini. Dan melebihi semuanya, mereka selalu lupa bahwa jodoh setiap manusia telah diatur oleh yang maha kuasa.
“Dinde tidak mau menikah dengan Lalu Wire. Dinde hanya mau menikah dengan lelaki sholeh. Bukan seorang pemabuk dan penjudi.”
Entah apa yang ia ucapkan setelah mendengar kalimatku. Aku tak ingin mendengarnya. Aku hanya tau satu hal bahwa ia sangat marah. Aku lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan alat tenun di hadapanku. Memenuhi gendang telingaku dengan suara alat tenun yang bertalu-talu agar aku tak mendengar semua sumpah serapahnya kepadaku. Dan kurasakan ada setitik air mata jatuh mengenai kain tenunku. Buru-buru aku mengusapnya.
*******
            Malam memasuki tirai kelamnya. Aku mulai takut dengan kalimat Ibuku. “Bagaimana jika Lalu Wire benar-benar ingin menikah denganku? Bagaimana jika ia menculikku dengan paksa?” Aku tidak bisa membayangkan semua itu terjadi padaku. Aku harus menghindarinya semampuku.
“Kenapa kamu melamun?” Manik mengagetkanku.
“Eh, iya. Maaf, maaf.” Aku langsung membantu Manik mengajari anak-anak mengaji.
Pikaranku berkecamuk. Aku harus bicara dengan ibuku. Aku harus membuatnya paham dengan pilihan hidup yang ingin kujalani. Sepulang dari masjid, aku akan berusaha menghadapinya dengan penuh kedewasaan.
“Kau kenapa?” ujar manik saat kami pulang.
“Aku sedang bingung, ibuku memaksaku menikah dengan Lalu Wire.”
“Apa?. Jangan mau. Dia tidak pantas untuk gadis sebaik kamu, Dinde. Hampir semua gadis cantik di kampong ini ingin ia nikahi. Kau tau kan?”
Aku hanya mengangguk. Semua orang sudah tau kelakuan lelaki tua itu. Dan aku juga tidak akan mau tunduk dengan keinginan ibuku yang satu ini. Tidak akan.
“Manik, bagaimana jika malam ini aku menginap di rumahmu?”
“Sebaiknya jangan, ibumu pasti akan marah. Lebih baik kau bicara dengannya dari hati ke hati tentang hal ini”.
Kemudian kami berpisah di persimpangan jalan. Aku menatap tubuh manik hingga menghilang di belokan. Aku mencintainya, sahabatku.
            Dari kejauhan Aku melihat Lalu Wire telah duduk di berugak depan rumahku. Aku memperlambat langkahku. Setelah mengucapkan salam, aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku tidak ingin keluar.
“Dinde, cepat keluar!” Ibuku mulai mengamuk.
Aku menutup telingaku. Kali ini saja, aku ingin melawannya. Kali ini saja, aku ingin berdiri di atas keputusanku sendiri. Ini tentang hidupku. Ini tentang masa depan yang akan aku perjuangkan.
******
Beberapa jam telah berlalu. Ibuku tiba-tiba menggedor pintu kamarku. Aku kaget dan bergegas membukanya. Ia masuk dan mengambil barang-barangku. Melemparkannya dengan kasar ke luar rumah. Mukanya terlihat merah karena marah.
“Pergi dari rumah ini!. Kamu sudah mempermalukanku. Kamu mau sekolah sampai kemanapun, kamu akan tetap menjadi penenun!.”
Kalimat itu terdengar seperti kutukan. Aku masih terpaku di tempatku. Aku tak beranjak seincipun. Ini adalah rumahku, rumah ayahku, rumah ibuku. Dan perempuan ini mengusirku.
“Tidak. Aku tidak akan pergi.” Aku menatapnya tajam. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku membenamkan tatapan mataku ke dalam bola matanya.
“Jika kamu tidak pergi, maka aku yang akan pergi.” Ucapnya lantang dengan tatapan yang semakin nanar.
Aku goyah. Aku melihat tiga orang adikku. Jika perempuan ini pergi, tidak akan ada yang mengurus mereka. Aku pun melangkah tanpa kata. Mengambil semua barang-barangku yang telah dibuang keluar. Air mataku tak dapat kubendung. Aku serasa tak berpijak pada tanah. Dengan langkah goyah aku melangkah di bawah cahaya rembulan. Bintang-bintang bersinar seolah menghiburku. Langit tak sekelam hatiku mala mini. Aku gontai, aku melangkah menuju makam ayah dan ibuku. Aku bersimpuh di antara dua gundukan tanah itu.
“Ayah, ibu, maafkan Dinde karena datang malam begini. Maafkan Dinde karena belum bisa menjadi anak berbakti bagi ibu tiri Dinde.” Suaraku tercekat bersama air mata yang deras mengalir. Rasanya aku ingin sekali memeluk mereka detik ini. Tapi hanya tanah ini yang ada di hadapanku kini.
“Ayah, ibu, Dinde rindu. Dinde mencintai Ayah dan ibu. Dinde pamit, Dinde akan ke Luar negri. Dinde terpilih untuk mengikuti pertukaran pemuda antar negara. Dinde akan ke sJepang. Ayah dan ibu bangga kan?. Maafkan Dinde jika tidak menjenguk Ayah dan Ibu di sini tapi kita akan tetap bertemu di setiap do’a.”
Aku bangkit sambil mengusap air mataku. Aku melangkah tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Malam ini, aku berjanji pada diriku bahwa perempuan kampung ini tak hanya bisa menjadi penenun. Bahwa mereka bisa menjadi perempuan cerdas yang juga mencintai budayanya. Tidak hanya menjadi perempuan pasak tenun. Lahir dan mati di dekat alat tenun.





           



6 komentar