Pantai tanjung Aan |
“Cilinaye..Kumohon
berhentilah menangis. Sudah cukup kau bersedih”.
“Aku
tidak bisa membencinya. Aku tidak bisa”
“Siapa
dia?, siapa yang bisa membuatmu menangis seperti ini?”
“Aku
tidak bisa”. Aku bersimpuh di atas pasir putih . Menatap ombak yang menghempas.
Menghapus namanya yang belum selesai kutulis. Kubiarkan ia berlalu, berkelana
jauh ke tengah samudera. Pergi.
****
Rinjani
memelukku erat. Ia tak mengatakan apa-apa. Ia biarkan aku menangis
sejadi-jadinya. Dan aku hanya mampu terisak. Sakit itu menjalari seluruh
tubuhku. Diabaikan. Ternyata begitu menyakitkan.
“Menangislah
cilinaye, jangan kau tahan. Hanya ada kita di sini. Kau tak perlu malu padaku”.
Aku
terdiam. Kubiarkan airmataku menganak sungai dalam pelukan Rinjani, sahabatku.
Ini kali pertama ia melihat air mataku. Meski bertahun-tahun kami bersahabat.
Ia hanya tau bahwa aku selalu tegar, bahwa aku selalu kuat, bahwa aku selalu
ceria, bahwa aku selalu bahagia. Debur ombak membasahi kami yang masih berpelukan.
Temaram cahaya rembulan diselimuti awan yang berarak. Sesekali ia muncul
sempurna menghiasi birunya langit menciptakan kilauan pantulan cahaya di atas
lautan. Aku mendongak ke langit, menatap
kerlip sinar bintang. Aku berusaha menghentikan air mataku.
“Tempat
ini terlalu indah jika hanya dihiasi tangis”. Rinjani mulai bicara sambil
mengusap bahuku.
Aku
hanya mengangguk, dan melepas pelukanku. Aku berusaha tersenyum meski bibirku
terasa begitu berat untuk digerakkan. Rinjani menuntunku menuju tenda. Ia
menyalakan api unggun.
“Hey..hp-mu
bunyi tuh”, RInjani membuyarkan lamunanku.
“Angkat
saja, tolong”. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapapun.
Sejurus
kemudian Rinjani sudah menyodorkan hp-ku sambil berbisik, “ini Panji, ia mau
bicara”.
“Cilinaye,
kau dimana?. Kau baik-baik saja kan?”. Terdengar suara Panji begitu khawatir.
“Ya.
I am Ok”
“Kau
sakit?, kau baru habis menangis?”.
Aku
hanya terdiam. Aku selalu tidak bisa berbohong padanya. Ia terlalu pandai
membaca semua ekspresi suaraku, bahkan saat berbicara di telpon ia seolah
melihatku di hadapannya.
“Hey…kau
kenapa?. Nona cilinaye sudah potong bebekkah? Atau sudah potong poni?”. Dia
berusaha meniru logat si Abdur saat stand up comedy.
“Hehe,
aku sedang tidak ingin bercanda”.
“Nona
cilinaye, mau tidak jadi sajadah beta?”. Dia mulai memancingku untuk tertawa.
“Tidak,
stop tipu-tipu!”.
“Nah,
gitu donk. Tersenyum kan jauh lebih bagus daripada nangis”
“Darimana
kau tau kalau aku tersenyum?”
“Vibrasi
nona…itu namanya vibrasi, jadi kau tak bisa berbohong walaupun aku tidak di
depanmu”, Lantas ia tertawa di seberang sana.
*****
Malam semakin larut tapi tak sedikitpun
aku ingin memejamkan mataku. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama bintang.
Menikmati debur ombak yang dengan setia memeluk pasir, lantas berlalu. Begitu
seterusnya hingga aku merasa “mungkin itulah cara terindah mereka saling
mencintai, berpelukan dan melepaskan”. Atau, mungkin saja mereka sedang
berbicara kepadaku tentang makna kepercayaan. Melepaskan untuk kembali.
Entahlah.
“
Kau tak ngantuk?”, Rinjani membuyarkan lamunanku.
“Hmmm,,jauh-jauh
aku mengajakmu camping ke Pantai Aan, masak mau habiskan malam dengan tidur”.
“Iya
sih, kau mau bercerita?”.
“Hmmm”,
aku tetap saja menatap laut lepas.
“Kau
masih memikirkan tanpa lilin?”,
Rinjani mulai memancingku untuk bercerita.
“Ahhh,,tak
usah sok tau tentang tanpa lilin.
Cuma aku yang memahami maknanya”. Aku memukul bahunya dan mendorongnya hingga
terjatuh di pasir.
Kami
tertawa lepas. Dua sahabat yang begitu dekat, tapi terpisah tembok tebal.
Sahabat yang memiliki dunianya masing-masing tapi kadang bertemu dalam satu
labirin bernama kebahagiaan.
****
Rinjani
telah tertidur pulas. Aku heran melihatnya begitu cepat menikmati alam mimpi
padahal dua kaleng kopi telah ia habiskan hari ini. Aku mengambil laptopku dan
mulai berselancar di dunia tak nyata.
Gemetar tanganku menyentuh pasir
putih
Bukan karena ia lupa huruf demi
huruf itu
Tapi takut ia melukis ketiadaan
Lantas kugenggam pasir itu erat
Membiarkan ia berlalu melewati sela
jariku
Pergilah bersama semua rasaku
Bawa ia berkelana kemanapun kau
mau..tanpa lilin
Aku tak tau harus menulis apa. Hanya
itu yang mengisi postingan di blog-ku hari ini. I lost my word. Aku ingin sekali menulis semua yang kurasakan. Tapi
tetap saja aku tak mampu. Tetap saja aku bertahan pada diamnya hatiku untuk
berucap meski lewat tulisan. Aku akan tetap menyimpan semuanya disini. Di bilik
terdalam hatiku. Tak akan kubiarkan siapapun mengganggunya.
Kulirik hp-ku, hanya sepi. Tak ada pesan
darinya, tak ada kabar. “Diam, selalu begitu”, lirihku pada malam yang mulai
dingin. “Kau bilang bahwa kau tak akan pernah pergi, begitupun aku. Lantas kita
berdiri di tempat kita masing-masing. Saling menatap dari kejauhan. Diam.
Berbicara tanpa kata. Lantas apa artinya tidak pergi jika tak jua menghampiri?”.
Aku meng-update status di facebook. Selang beberapa detik ada yang me-like.
Arya.
Semua rasa berkecamuk dalam hatiku.
Entah ini rasa sedih atau rasa rindu atau rasa kecewa. Atau mungkin perpaduan
semua rasa itu yang disebut cinta?. Entahlah, aku tak berani berspekulasi atas
apa yang belum kumengerti sepenuhnya. Aku melangkahkan kaki di atas pasir,
membiarkan ia sesekali menenggelamkan telapak kakiku. Pantai Tanjung Aan yang
membentang indah serasa milikku. Kini langit begitu bersih, bagai permadani biru
berhiaskan manic-manik bintang. Rembulan yang masih separuh, melengkung
tersenyum seolah menyapa kesendirianku. “Mungkinkah ia tau betapa sepinya
hatiku detik ini?. Mungkinkah ia merasakan betapa bekunya jiwaku?”. Aku terus
melangkah jauh meninggalkan tenda. Menaiki batu karang besar di tengah
lengkungan pantai. Melangkah ditemani senyum rembulan.
Aku tertegun. Bayangan Arya seolah
memenuhi pelupuk mataku. Bayangan samar yang tak pernah mampu kulukis meski
dalam kanvas ingatanku. Lantas lamat-lamat kudengar suara merdunya. Menyanyikan
lagu kesukaanku. Terngiang memenuhi rongga telingaku. Kupejamkan mata, lantas
bibirku mulai menggumamkan sebuah lagu. “Cause
all of me loves all love you. Love your curve and all your edges. All your
perfect imperfection. Give your all to me, I’ll give my all to you. You my end
than my beginning. Even when I lose I’m winning. Cause I give you all of me and
you give me all of you”. Ada satu titik membasahi sudut mataku. Kubiarkan
ia mengalir ke pipiku.
Lamunanku
buyar oleh suara hp. Ada pesan masuk yang dengan cepat kubuka. “Waktu adalah
hal yang paling berharga yang bisa diberikan oleh seseorang yang begitu
menyayangimu. Aku tidak memiliki apapun, tapi aku akan selalu berikan waktuku
untukmu Cilinaye. Mungkin saat ini, itu bukan hal yang berharga untumu tapi
suatu saat kau pasti akan menyadarinya”. Pesan dari Panji. Aku membacanya
berulang-ulang. Waktu. Waktu yang tak pernah Arya miliki untukku. Bahkan untuk
menyanyikan satu lagu yang kuminta. Bahkan untuk menulis satu bait puisi yang
begitu kudamba. “Tapi kenapa di hatiku hanya ada Arya?”. Selalu saja, rindu.
Dan kini rinduku padanya menjelma bongkahan panas yang memenuhi rongga
paru-paruku. Aku merasakan sesak yang tak sanggup kutahan. Lamat-lamat panas
itu menjalari tenggorokanku. Membatu. Bisu aku menatap laut lepas.
Malam
semakin larut. Tak sedikitpun aku merasakan kantuk. Aku ingin menghabiskan malam
ini bersama semua kecamuk dalam fikiran dan hatiku. Aku ingin saat pagi datang,
aku sudah tau harus berdiri dimana.
“Kau
dimana?”. Rinjani menelponku. Rupanya ia sudah terjaga dari mimpinya. Pasti ia
bermimpi menikmati mentari terbit di Ranukumbolo bersama kekasih hatinya.
Bersama cintanya yang tak pernah terucap.
“Aku
di atas batu karang besar, kemarilah”.
Rinjani
datang tergopoh-gopoh. Ia pasti ketakutan menemukan dirinya hanya berteman sepi
di dalam tenda.
“Hey..tega
sekali kau meninggalkanku. Bagaimana jika ada penjahat. Atau, bagaimana jika
ada anjing yang tiba-tiba datang”. Ia menggerutu.
“Dasar
gadis penakut, aku menjagamu dari atas sini”.
“Kau
menangis lagi?”. Rinjani meletakkan tangannya di bahuku.
“Aku
jatuh cinta pada ia yang hanya kukenali punggungnya. Aku jatuh cinta pada ia
yang tak pernah kutatap bola matanya. Aku jatuh cinta pada ia yang hanya
kukenali lewat suaranya. Aku jatuh cinta pada ia yang membuatku menggigil
kedinginan di setiap sepertiga malam. Aku jatuh cinta pada ia yang berselimut
beku. Yang bicara padaku hanya dengan diamnya”. Aku tercekat, tak bisa berkata
apa-apa lagi. Rinjani terpaku menatapku.
“Panji?”.
Ucapnya lirih.
“Arya”.
Rinjani
hanya terdiam. Lantas memelukku erat. Ia terus saja mengelus bahuku. Ada
kehangatan disana. Setidaknya aku tidak merasa sendiri saat aku serapuh ini.
“Cintamu
pasti akan menemukan jalannya. Siapapun dia lelaki itu, ia akan tau bahwa ia
telah menaklukkan hati seorang Cilinaye. Perempuan terbeku yang pernah kukenal.
Dan kupastikan ia akan menjadi lelaki paling bahagia saat ia menyadarinya”. Malam
semakin larut. Suara ombak semakin keras menghempas karang tempat kami duduk.
Ada hangat yang mengaliri pembuluh darahku. Bongkahan rindu itu melarut
perlahan bersama keyakinan yang kuat.
“Cinta
tak akan pernah membawamu tersesat, ia akan selalu menemukan cahaya terang yang
akan menuntunmu mengeja jalan kebahagiaan. Selamanya”. Lirih kuberucap pada
angin laut. Semoga ia mendengarnya di tempat yang jauh disana.
*****
Arya
tertegun menatap layar laptopnya. Mengeja
kata demi kata di postingan terakhir blog Cilinaye. Lantas ada satu titik di
sudut matanya.
“Aku mencintaimu lebih
dari yang kau tau meski dalam diamku. Jangankan waktu, semuanya akan kuberikan
padamu. Tapi kini kau pergi ke pelukan samudera. Kau pergi meninggalkanku
dengan gumpalan rasa bersalah. Maafkan aku. Kuharap syurga akan mempertemukan
kita. Saling mencintai dalam keabadian”.
Cilinaye terbawa arus samudera saat perahu yang ia tumpangi menuju pantai batu payung tak mampu melawan ombak. Ia pergi membawa cintanya dalam keabadian. Dalam kebekuannya bersama semesta.
2 komentar
hm hm hm.....
mencoba mengartikan dalam bingkai saya....
:D
haha...itu labelx cerpen luc jdi gak ush terll di artikan..ckup dinikmati saja..:D