Jumat, 05 Desember 2014

Mencintai Dalam Diam

Pantai tanjung Aan

“Cilinaye..Kumohon berhentilah menangis. Sudah cukup kau bersedih”.
“Aku tidak bisa membencinya. Aku tidak bisa”
“Siapa dia?, siapa yang bisa membuatmu menangis seperti ini?”
“Aku tidak bisa”. Aku bersimpuh di atas pasir putih . Menatap ombak yang menghempas. Menghapus namanya yang belum selesai kutulis. Kubiarkan ia berlalu, berkelana jauh ke tengah samudera. Pergi.
****
Rinjani memelukku erat. Ia tak mengatakan apa-apa. Ia biarkan aku menangis sejadi-jadinya. Dan aku hanya mampu terisak. Sakit itu menjalari seluruh tubuhku. Diabaikan. Ternyata begitu menyakitkan.
“Menangislah cilinaye, jangan kau tahan. Hanya ada kita di sini. Kau tak perlu malu padaku”.
Aku terdiam. Kubiarkan airmataku menganak sungai dalam pelukan Rinjani, sahabatku. Ini kali pertama ia melihat air mataku. Meski bertahun-tahun kami bersahabat. Ia hanya tau bahwa aku selalu tegar, bahwa aku selalu kuat, bahwa aku selalu ceria, bahwa aku selalu bahagia. Debur ombak membasahi kami yang masih berpelukan. Temaram cahaya rembulan diselimuti awan yang berarak. Sesekali ia muncul sempurna menghiasi birunya langit menciptakan kilauan pantulan cahaya di atas lautan.  Aku mendongak ke langit, menatap kerlip sinar bintang. Aku berusaha menghentikan air mataku.

“Tempat ini terlalu indah jika hanya dihiasi tangis”. Rinjani mulai bicara sambil mengusap bahuku.
Aku hanya mengangguk, dan melepas pelukanku. Aku berusaha tersenyum meski bibirku terasa begitu berat untuk digerakkan. Rinjani menuntunku menuju tenda. Ia menyalakan api unggun.
“Hey..hp-mu bunyi tuh”, RInjani membuyarkan lamunanku.
“Angkat saja, tolong”. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapapun.
Sejurus kemudian Rinjani sudah menyodorkan hp-ku sambil berbisik, “ini Panji, ia mau bicara”.
“Cilinaye, kau dimana?. Kau baik-baik saja kan?”. Terdengar suara Panji begitu khawatir.
“Ya. I am Ok”
“Kau sakit?, kau baru habis menangis?”.
Aku hanya terdiam. Aku selalu tidak bisa berbohong padanya. Ia terlalu pandai membaca semua ekspresi suaraku, bahkan saat berbicara di telpon ia seolah melihatku di hadapannya.
“Hey…kau kenapa?. Nona cilinaye sudah potong bebekkah? Atau sudah potong poni?”. Dia berusaha meniru logat si Abdur saat stand up comedy.
“Hehe, aku sedang tidak ingin bercanda”.
“Nona cilinaye, mau tidak jadi sajadah beta?”. Dia mulai memancingku untuk tertawa.
“Tidak, stop tipu-tipu!”.
“Nah, gitu donk. Tersenyum kan jauh lebih bagus daripada nangis”
“Darimana kau tau kalau aku tersenyum?”
“Vibrasi nona…itu namanya vibrasi, jadi kau tak bisa berbohong walaupun aku tidak di depanmu”, Lantas ia tertawa di seberang sana.
*****
      Malam semakin larut tapi tak sedikitpun aku ingin memejamkan mataku. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama bintang. Menikmati debur ombak yang dengan setia memeluk pasir, lantas berlalu. Begitu seterusnya hingga aku merasa “mungkin itulah cara terindah mereka saling mencintai, berpelukan dan melepaskan”. Atau, mungkin saja mereka sedang berbicara kepadaku tentang makna kepercayaan. Melepaskan untuk kembali. Entahlah.
“ Kau tak ngantuk?”, Rinjani membuyarkan lamunanku.
“Hmmm,,jauh-jauh aku mengajakmu camping ke Pantai Aan, masak mau habiskan malam dengan tidur”.
“Iya sih, kau mau bercerita?”.
“Hmmm”, aku tetap saja menatap laut lepas.
“Kau masih memikirkan tanpa lilin?”, Rinjani mulai memancingku untuk bercerita.
“Ahhh,,tak usah sok tau tentang tanpa lilin. Cuma aku yang memahami maknanya”. Aku memukul bahunya dan mendorongnya hingga terjatuh di pasir.
Kami tertawa lepas. Dua sahabat yang begitu dekat, tapi terpisah tembok tebal. Sahabat yang memiliki dunianya masing-masing tapi kadang bertemu dalam satu labirin bernama kebahagiaan.
****
Rinjani telah tertidur pulas. Aku heran melihatnya begitu cepat menikmati alam mimpi padahal dua kaleng kopi telah ia habiskan hari ini. Aku mengambil laptopku dan mulai berselancar di dunia tak nyata.
Gemetar tanganku menyentuh pasir putih
Bukan karena ia lupa huruf demi huruf itu
Tapi takut ia melukis ketiadaan
Lantas kugenggam pasir itu erat
Membiarkan ia berlalu melewati sela jariku
Pergilah bersama semua rasaku
Bawa ia berkelana kemanapun kau mau..tanpa lilin
        Aku tak tau harus menulis apa. Hanya itu yang mengisi postingan di blog-ku hari ini. I lost my word. Aku ingin sekali menulis semua yang kurasakan. Tapi tetap saja aku tak mampu. Tetap saja aku bertahan pada diamnya hatiku untuk berucap meski lewat tulisan. Aku akan tetap menyimpan semuanya disini. Di bilik terdalam hatiku. Tak akan kubiarkan siapapun mengganggunya.
      Kulirik hp-ku, hanya sepi. Tak ada pesan darinya, tak ada kabar. “Diam, selalu begitu”, lirihku pada malam yang mulai dingin. “Kau bilang bahwa kau tak akan pernah pergi, begitupun aku. Lantas kita berdiri di tempat kita masing-masing. Saling menatap dari kejauhan. Diam. Berbicara tanpa kata. Lantas apa artinya tidak pergi jika tak jua menghampiri?”. Aku meng-update status di facebook. Selang beberapa detik ada yang me-like. Arya.
            Semua rasa berkecamuk dalam hatiku. Entah ini rasa sedih atau rasa rindu atau rasa kecewa. Atau mungkin perpaduan semua rasa itu yang disebut cinta?. Entahlah, aku tak berani berspekulasi atas apa yang belum kumengerti sepenuhnya. Aku melangkahkan kaki di atas pasir, membiarkan ia sesekali menenggelamkan telapak kakiku. Pantai Tanjung Aan yang membentang indah serasa milikku. Kini langit begitu bersih, bagai permadani biru berhiaskan manic-manik bintang. Rembulan yang masih separuh, melengkung tersenyum seolah menyapa kesendirianku. “Mungkinkah ia tau betapa sepinya hatiku detik ini?. Mungkinkah ia merasakan betapa bekunya jiwaku?”. Aku terus melangkah jauh meninggalkan tenda. Menaiki batu karang besar di tengah lengkungan pantai. Melangkah ditemani senyum rembulan.
            Aku tertegun. Bayangan Arya seolah memenuhi pelupuk mataku. Bayangan samar yang tak pernah mampu kulukis meski dalam kanvas ingatanku. Lantas lamat-lamat kudengar suara merdunya. Menyanyikan lagu kesukaanku. Terngiang memenuhi rongga telingaku. Kupejamkan mata, lantas bibirku mulai menggumamkan sebuah lagu. “Cause all of me loves all love you. Love your curve and all your edges. All your perfect imperfection. Give your all to me, I’ll give my all to you. You my end than my beginning. Even when I lose I’m winning. Cause I give you all of me and you give me all of you”. Ada satu titik membasahi sudut mataku. Kubiarkan ia mengalir ke pipiku.
Lamunanku buyar oleh suara hp. Ada pesan masuk yang dengan cepat kubuka. “Waktu adalah hal yang paling berharga yang bisa diberikan oleh seseorang yang begitu menyayangimu. Aku tidak memiliki apapun, tapi aku akan selalu berikan waktuku untukmu Cilinaye. Mungkin saat ini, itu bukan hal yang berharga untumu tapi suatu saat kau pasti akan menyadarinya”. Pesan dari Panji. Aku membacanya berulang-ulang. Waktu. Waktu yang tak pernah Arya miliki untukku. Bahkan untuk menyanyikan satu lagu yang kuminta. Bahkan untuk menulis satu bait puisi yang begitu kudamba. “Tapi kenapa di hatiku hanya ada Arya?”. Selalu saja, rindu. Dan kini rinduku padanya menjelma bongkahan panas yang memenuhi rongga paru-paruku. Aku merasakan sesak yang tak sanggup kutahan. Lamat-lamat panas itu menjalari tenggorokanku. Membatu. Bisu aku menatap laut lepas.
Malam semakin larut. Tak sedikitpun aku merasakan kantuk. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama semua kecamuk dalam fikiran dan hatiku. Aku ingin saat pagi datang, aku sudah tau harus berdiri dimana.
“Kau dimana?”. Rinjani menelponku. Rupanya ia sudah terjaga dari mimpinya. Pasti ia bermimpi menikmati mentari terbit di Ranukumbolo bersama kekasih hatinya. Bersama cintanya yang tak pernah terucap.
“Aku di atas batu karang besar, kemarilah”.
Rinjani datang tergopoh-gopoh. Ia pasti ketakutan menemukan dirinya hanya berteman sepi di dalam tenda.
“Hey..tega sekali kau meninggalkanku. Bagaimana jika ada penjahat. Atau, bagaimana jika ada anjing yang tiba-tiba datang”. Ia menggerutu.
“Dasar gadis penakut, aku menjagamu dari atas sini”.
“Kau menangis lagi?”. Rinjani meletakkan tangannya di bahuku.
“Aku jatuh cinta pada ia yang hanya kukenali punggungnya. Aku jatuh cinta pada ia yang tak pernah kutatap bola matanya. Aku jatuh cinta pada ia yang hanya kukenali lewat suaranya. Aku jatuh cinta pada ia yang membuatku menggigil kedinginan di setiap sepertiga malam. Aku jatuh cinta pada ia yang berselimut beku. Yang bicara padaku hanya dengan diamnya”. Aku tercekat, tak bisa berkata apa-apa lagi. Rinjani terpaku menatapku.
“Panji?”. Ucapnya lirih.
“Arya”.
Rinjani hanya terdiam. Lantas memelukku erat. Ia terus saja mengelus bahuku. Ada kehangatan disana. Setidaknya aku tidak merasa sendiri saat aku serapuh ini.
“Cintamu pasti akan menemukan jalannya. Siapapun dia lelaki itu, ia akan tau bahwa ia telah menaklukkan hati seorang Cilinaye. Perempuan terbeku yang pernah kukenal. Dan kupastikan ia akan menjadi lelaki paling bahagia saat ia menyadarinya”. Malam semakin larut. Suara ombak semakin keras menghempas karang tempat kami duduk. Ada hangat yang mengaliri pembuluh darahku. Bongkahan rindu itu melarut perlahan bersama keyakinan yang kuat.
“Cinta tak akan pernah membawamu tersesat, ia akan selalu menemukan cahaya terang yang akan menuntunmu mengeja jalan kebahagiaan. Selamanya”. Lirih kuberucap pada angin laut. Semoga ia mendengarnya di tempat yang jauh disana.
*****
Arya  tertegun menatap layar laptopnya. Mengeja kata demi kata di postingan terakhir blog Cilinaye. Lantas ada satu titik di sudut matanya.
“Aku mencintaimu lebih dari yang kau tau meski dalam diamku. Jangankan waktu, semuanya akan kuberikan padamu. Tapi kini kau pergi ke pelukan samudera. Kau pergi meninggalkanku dengan gumpalan rasa bersalah. Maafkan aku. Kuharap syurga akan mempertemukan kita. Saling mencintai dalam keabadian”. 
       Cilinaye terbawa arus samudera saat perahu yang ia tumpangi menuju pantai batu payung tak mampu melawan ombak. Ia pergi membawa cintanya dalam keabadian. Dalam kebekuannya bersama semesta.





           





2 komentar

hm hm hm.....
mencoba mengartikan dalam bingkai saya....
:D

haha...itu labelx cerpen luc jdi gak ush terll di artikan..ckup dinikmati saja..:D