Senin, 15 Desember 2014

Ironi Pendidikan NTB : Salah Guru?




Aku rindu padamu
Anak desa dengan kaki telanjang
dengan seragam lusuh, kuning kehitaman.
kemiskinan tak mampu membuat seragammu putih lagi
Aku rindu padamu
anak desa yang menaklukkan hari
dalam gelap saat pagi belum datang
kau telah melangkah
menapaki pematang yang telah lelah kau injak
kau masih bisa riang,,bersenandung.
Aku rindu padamu
anak yang lahir dari rahim kekuatan
Anak yang terjaga dari pelukan ketulusan
Tak pedulilah kau dunia sedang bergolak
Ah,,,,pemilu telah menjual kebodohanmu
Orang pintar  meneriakkan kemiskinanmu
Kau tetap melangkah di pojok peradaban
Berucap lirih pada angin ketidakadilan
"Aku ingin tetap sekolah"
     Teman...semoga kau tak pernah bosan membaca ceritaku, dan terimakasih sudah setia berkunjung ke rumahku (baca blog). Kali ini aku akan menceritakan kepadamu tentang perjalananku beberapa bulan yang lalu. Salah satu perjalanan yang berkesan dalam hidupku. Bukan karena aku bisa melihat pantai yang indah atau gunung yang mempesona seperti biasanya, tapi karena perjalanan ini menghadirkan banyak kisah tentang hidup. 
     Selama enam bulan aku terlibat dalam sebuah research tentang pendidikan di Indonesia. Aku menjadi salah satu team yang ada di provinsiku tercinta, NTB. Ada tiga kabupaten yang menjadi sampel yaitu kabupaten Bima, Lombok Timur, dan Lombok Tengah. Research itu terbagi dalam dua tahapan sehingga kami melaksanakannya kurang lebih  enam bulan yaitu mulai dari oktober 2013 sampai dengan Maret 2014.( Hmmmm...kenapa jadi serius gini aku cerita?..sory, kebawa suasana karena bahasannya lumayan serius ya teman). OK..aku coba cerita agak santai...:)
     
Hamzah and friends..i miss them
        Pagi itu, seusai sholat subuh aku berangkat bersama si Ijo (motorku) menuju salah satu sekolah di Lombok Tengah. Aku sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar akau tidak terlambat. Menikmati jalanan yang lengang adalah hal yang menyenangkan bagiku. Dan yang paling penting, aku harus tiba di sekolah tujuan sebelum guru dan kepala sekolah datang. Jam tujuh aku sudah tiba di sekolah tersebut. Tepat seperti dugaanku, belum ada guru yang datang. Murid-murid sudah banyak yang berkeliaran di lapangan sekolah. Aku selalu bahagia melihat mereka. Ceria itu adalah ungkapan yang tepat menggambarkan wajah mereka.
"Siapa namamu?"
"Hamzah". Jawabnya malu-malu.
"Koq gurunya belum ada yang datang?".
"Mungkin guru masih memeluk bantal". Jawabnya polos sambil tertawa cekikikan.
Dalam hati aku sangat kaget mendengar jawaban anak kecil itu. Jawaban polos yang benar-benar di luar perkiraanku.
"Memang gurunya suka datang terlambat?".
"Hehehe". Dia mengangguk sambil tertawa kecil dan berlari ke arah teman-temannya.
        Jam sudah menunjukkan pukul 07.30, seharusnya bel masuk sudah berbunyi. Malang nasib anak-anak itu, baru satu guru yang hadir. Dan dia adalah guru honorer. Sudah bertahun-tahun menjadi guru honorer dan tak jua diangkat menjadi PNS. Dengan gaji hanya Rp. 450.000/ tiga bulan ia mengemban tugas menjadi wali kelas. Jam mengajarnya sama dengan guru PNS. Di sekolah itu, hanya ada empat guru PNS sehingga guru honorer harus menerima beban yang besar dengan gaji yang tidak sepadan. (Semoga saat ini guru PNS di sekolah itu sudah di tambah).
Tetaplah semangat nak..i love you
        Hari berikutnya, masih di Lombok Tengah. Seperti hari sebelumnya, aku berangkat sangat pagi. Jangan bayangkan jarak sekolah itu dekat ya..hmmmm..jaraknya jauh. Itulah kenapa aku selalu siap-siap selepas subuh. Jam 07.00 aku sudah berada di sekolah tujuan. Belum ada satupun guru maupun kepala sekolah yang hadir. Aku menunggu sampai jam 08.00 pun belum ada satupun yang hadir. Murid-murid sudah sedari pagi datang. Bermain di halaman sekolah dengan penuh keceriaan dan semangat. Aku terpaksa membunyikan bel masuk. Aku tiba-tiba kaget mendengar ada suara do'a yang begitu bersemangat dari beberapa murid di teras sekolah. Air mataku tak terbendung lagi. Aku menangis melihat mereka yang begitu rajin meski tanpa satu orang gurupun yang datang tepat waktu. 
"Kenapa kalian berdo'a di teras?". AKu menghampiri mereka
"Ruang kelas kita mau rubuh bu". Jawab mereka polos. Lantas mereka menemaniku melihat ruang kelas tersebut. Aku benar-benar menangis saat itu. 
"Kemana guru mereka?". 
Sekitar jam setengah sembilan barulah mereka datang. Aku benar-benar ingin marah saat itu. Aku sangat sedih menemukan kejadian seperti itu. Aku anak seorang guru, dan aku tau betul ayahku tidak pernah terlambat pergi ke sekolah meskipun selalu mengajar di daerah terpencil.
Jalannya keren bingitz,,kenapa aku gak pakai sendal gunung?..hehe
     Hari berikutnya menghadirkan cerita yang tak lebih baik bahkan lebih menyedihkan. Sekolah tujuan berada di ujung Lombok Tengah. Jalan yang harus kulalui cukup buruk. Dalam hati aku berucap "kenapa aku gak pakai sendal gunung saja?". Dan seperti dugaanku, sekolah yang aku lihat tidak jauh lebih lebih baik dari jalan yang aku lalui.
Bendera saja sudah enggan berkibar
        Mengulang cerita di dua sekolah sebelumnya, selalu saja murid-murid lebih tepat waktu dari gurunya. Mungkin karena saat itu kepala sekolahnya sedang pergi haji maka guru datang sesuka hati. Dan akulah yang memukul bel masuk. Dengan sedikit sesak aku masuk ke dalam kelas. Ini sekolah yang muridnya sangat luar biasa sulit tertib. Ini pasti faktor pembiasaan. Sekolah ini menyimpan banyak kisah yang sulit aku lupakan. Mulai dari murid-muridnya sampai cerita guru-gurunya.


"Saya sarjana yang asal sarjana". Kata salah seorang guru PNS. Lantas ia bercerita panjang lebar tentang skripsinya yang ia beli. 
"Pada saat saya ujian skripsi, saya tidak bisa buka email", ujarnya penuh semangat.
Dalam hati aku berkata "Ngapain pakai buka email ya?". Tiba-tiba seorang guru yang lain menimpali.
"Bukan email maksudnya itu mbak tapi dia gak bisa buka file".
Sontak semua orang di ruangan itu tertawa. "buka email dan buka file, hubungannya dimana?. Oh my God,,kualitas guru kita begini?".

Suasana di Perpustakaan
      Aku senang sekali mendengar cerita dari anak-anak di sekolah ini. Tentang mereka yang bangun pagi-pagi karena rumahnya sangat jauh. Tentang pematang sawah yang becek karena hujan semalam. Tentang cita-cita mereka yang ingin menjadi ini dan itu dimasa depan. Aku terharu dengan semangat mereka.
"Berapa jumlah provinsi di Indonesia?"
"33 bu", jawab murid yang paling pintar.
"Sekarang sudah 34 nak".
"Provinsi apa lagi bu?". Tanya mereka penasaran.
"Coba tanya pak gurunya sana". Lantas mereka berlari menemui salah seorang guru dan kembali padaku.
"Kata pak Guru, cuma ada 33 provinsi bu bukan 34".
"Nak,,sudah ada provinsi baru namanya provinsi Kalimantan Utara". Lantas mereka mencatat di bukunya. Disini memang jauh dari jangkauan internet, sinyal saja masih fikir-fikir untuk masuk kesini. Perpustakaan sekolah seadanya yang isinya buku-buka zaman dahulu kala. Tapi itulah kondisi yang sebenarnya.


bermain di bawah pohon asam

tetap semangat nak...:)
    Aku benar-benar berharap kedepan pemerintah memberikan perhatian lebih kepada guru-guru honorer di daerah terpencil. Masih banyak diantara mereka yang mendapatkan gaji jauh dari kata layak. Kita selama ini menuntut mereka untuk memberikan pembelajaran yang terbaik kepada murid-murid tapi kita tidak memperhatikan kesejahteraannya. Untuk guru-guru PNS agar senantiasa di upgrade secara kualitas. Bolehlah pemerintah memberlakukan kurikulum ini dan itu, tapi jika kualitas guru tidak meningkat maka pasti akan kembali ke pola lama. Perubahan kurikulum hanya akan menjadi judul belaka. Dinas pendidikan juga jangan sampai hanya menilai kualitas pendidikan dari laporan angka-angka tapi turunlah ke lapangan. Melihat bagaimana pendidikan dengan mata kepala sendiri akan mampu menelurkan kebijakan yang tepat.

    Hmmm...ini baru sebagian kecil kisah di Lombok Tengah, untuk yang di Bima dan Lotim akan kuceritakan di lain waktu..hehe..









   


2 komentar

Kurangi denotasix kembangkan konotasi...dengan demikian pembaca akan lebih tertantang untuk memecahkan makna konotasi tersebut sehingga apresiasi pembaca trhdp karyax akan semakin kuat...
judul yang baik akan mewakili isi secara keseluruhan dgn demikian sajian judul setidaknya mewakili gambaran tulisannya...

Saya suka dengan cerita anda, saya dari kuliah punya keinginan untuk mengajar di didaerah Timur, karena orang yang hebat itu bukanlah orang yang berdasi, tapi yang mau mengajar disurau-surai, daerah terpencil, memajukan pendidikan di indonesia.