Aku
meronta.Mencakar.Memukul. Semua sia-sia. Badan itu terlalu kekar. Badanku di dorong
masuk ke dalam mobil tua yang biasa dijadikan angkutan umum. Dan aku terdesak
di pojok mobil. Mataku terbelalak melihat lima orang laki-laki dengan tampang
bringas. Tapi sontak bola mataku seakan terlempar dari pelupuknya. Ada satu
lelaki yg wajahnya agak bersih. Lelaki yang tak asing. Dia mendekatiku dengan
senyum menjijikkan.
"Cih". Aku meludahi
mukanya.
"Silaq1Lale2,
lakukan apapun yang kau suka. Aku sudah melarikanmu sekarang".
"Tidak sudi tiang3 nikah sama pelinggih4". Satu
tamparan tanganku mendarat di mukanya.
Lelaki itu mencengkram kedua
tanganku dengan kuat. Mukanya memerah. Bau minuman keras berhamburan dari
mulutnya yang semakin mendekat ke wajahku.
"Jangan buat saya marah
sama kamu!". Matanya seakan mau keluar.
"Mamiq5 pasti akan datang belas6 aku. Tidak rela aku nikah sama kamu!. Lebih baik
aku mati!". Sudah tak ada bahasa halus ala bangsawan sasak7. Sudah lupa bahwa dia adalah salah satu keturunan
Raden yang harus dihormati. Nyatanya perbuatannya tak terhormat. Meskipun
ngoros atau melarikan anak gadis dengan paksa adalah hal yang di bolehkan dalam
adat sasak. Tapi itu tetap tidak terhormat bagiku.
"Pokoknya aku tidak mau
tau, kalau mamiq-mu nge-belas, kamu harus bilang suke8". Dia berteriak.
"Tidak sudi!. Cih".
Sekali lagi aku meludahi wajahnya.
Setelah itu, pukulan keras
menghantam muka dan kepalaku. Aku pingsan.
*****
Aku tersadar. Aku sudah berada di sebuah
kamar. Mulutku ditutup. Tanganku terikat. Aku merasakan sakit di wajah dan
kepalaku. Tapi itu kuabaikan setelah menyadari sakit di selangkangnku. Aku
diperkosa. Aku hanya bisa meronta. Memelototi sesosok tubuh di sampingku. Air
mataku meleleh.
"Tiang tidak punya cara lain agar pelinggih mau menikah denganku.
Tiang sangat mencintai pelinggih".
Mukanya sangat menjijikkan.
"Cinta setan!".
Umpat hatiku. Air mataku deras mengalir.
"Nanti kalau mamiq pelinggih datang nge-belas, tolong bilang suke nggih9". Dia bicara
dengan nada memohon.
" Tidak sudi!, lebih
baik aku mati!". Batinku berteriak.
Detik itu, aku mengutuk
diriku yang terlahir di suku yang menjadikan kawin lari sebagai adatnya. Orang
tua tidak tau apakah anaknya di larikan oleh orang baik atau tidak. Apakah
anaknya menyukai orang yang melarikannya atau tidak. Adat kawin lari
memungkinkan orang membawa lari paksa gadis yang tidak menerima cintanya. Aku
mengutuk diriku. Aku mengutuk adat. Aku mengutuk lelaki di sampingku.
Di luar terdengar mulai
ramai. Ia melepaskan ikatanku. Membuka penutup mulutku. Dengan wajah tanpa
berdosa. Wajah yang akan aku benci seumur hidupku bahkan mungkin hingga
kematianku.
" Lale,
sekali lagi tiang mohon agar pelinggih bilang suke". Dia keluar meninggalkanku.
" Aku tidak akan pernah
mau menikah dengan iblis. Apapun yang sudah kamu lakukan, itu akan menjadi
penyesalanmu seumur hidup". Dengan bibir bergetar aku berucap. Air mataku
menganak sungai. "Inikah takdir?". Pekik batinku.[1]
"Jika kamu katakan
kepada semua orang apa yang telah kulakukan,maka banyak orang yang akan
mati".Wajahnya benar-benar seperti setan.
Beberapa lama aku meringkuk
sendiri di pojok kamar. Dinginnya lantai menusuk sampai hatiku. Ya..hatiku yang
terasa membatu. Menyimpan sebongkah dendam. Rasa sakit tak kuhiraukan. Yang aku
fikirkan adalah kebencian. Tiba-tiba pintu di buka oleh seorang perempuan.
"Bibi",aku memeluk
erat perempuan itu.
"Dinde10inges11,
kamu baik-baik saja?". Dia menatapku curiga
"Iya, tiang baik". Aku berusaha
menyembunyikan semuanya. Aku tau lelaki iblis itu tidak bercanda dengan
ancamannya.
"Kalau begitu, ayo kita
keluar. Semua orang sudah menunggu". Kamipun melangkah keluar. Kukuatkan
langkahku. Perih itu membuatku semakin tegak. Perih itu mengokohkan
kebencianku.
Para sesepuh sudah berkumpul
di halaman. Ada tetua adat dari kampung lelaki itu, dan ayahku beserta tetua
adat dari kampungku.
"Lale Rengganis, apakah kamu suke
menikah dengan Lalu12
Tanggih?. Pertanyaan maut itupun terlontar. Semua diam. Semua penasaran dengan
jawabanku. Kutatap mata ayahku. Kubaca dengan jelas garis wajahnya
mengkhawatirkanku. Kutatap lekat wajah lelaki itu. Aku tau dia gila karena
mencintaiku. Aku tau dia benar-benar ingin menikahiku. Aku tau dia dikuasai
setan. Di sudut halaman kulihat pemuda yang begitu baik, lelaki yang kusayangi
dan kuanggap sebagai kakak, Lalu
Repatmaje. Dan di sudut lain halaman kutatap wajah teduh. Wajah yang begitu
kucintai. Wire.
"Ampure13, tiang
tidak suke". Hanya itu yang
keluar dari mulutku. Membuat semua orang terkrjut. Lalu Tanggih menatap mataku lekat, dan mataku nanar merasuki bola
matanya. "Seumur hidup, kau akan menyesali perbuatanmu. Bahkan hingga ke
akhirat, aku akan menuntutmu. Dan aku mau agar akulah yang kelak akan
mendorongmu ke dalam jurang neraka". Hatiku bergumam.
*****
Kutemukan ibuku menangis di kamar. Ia
langsung memelukku erat. Aku sangat tau bahwa ia mencintaiku.
"Dinde inges, kamu baik2
saja?". Ia memperhatikan pipiku yqng membiru.
Dan aku tak mampu lagi
menahan airmataku. Tangisku pecah bersama tangisnya. Aku begitu rapuh di
hadapan perempuan itu. Perempuan yang paling kucintai. Perempuan jajar karang14 yang dicintai
ayahku. Yang telah melahirkanku. Adat sasak tidak membolehkan perempuan dari
kasta yang lebih tinggi menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah.
Jika itu terjadi maka perempuan itu harus di buang dari keluarganya dan gelar
Lale di depan namanya harus dihapus. Tapi itu tidak berlaku sebaliknya. Lelaki
dengan kasta tinggi boleh menikah dengan perempuan manapun yang ia sukai.
"Anakku, kamu tidak
apa-apa kan?". Ia menegaskan pertanyaannya sambil memelukku erat.
Dan bibirku terkatup. Aku tak
mampu bicara. Tubuhku gemetar. Hanya tangisku yang keluar. Sekuat tenaga
kutahan airmataku, tapi aku tak sanggup.
"Inaq15 harus beritahu mamiq-mu". Ia sangat tau apa yang menimpaku. Ia telah lebih
dulu merasakan apa yang kurasakan. Ia hanyalah perempuan sudra yang tak mampu
melawan takdirnya. Keluarganya tak punya keberanian untuk menjemputnya delapan
belas tahun yang lalu. Ia terpaksa menikah dengan mamiq. Rela menjadi istri kedua demi aku.
Malam terasa sangat dingin. Menusuk
tulangku. Di bawah atap ilalang, di atas tikar pandan aku meringkuk. Dunia terasa
sempit menghimpit, memecahkan pembuluh darahku.Aku ingin mati saja. Tapi, aku
tak mampu meninggalkan ibuku. Aku tak mampu meninggalkan Wire. Merekalah yang
membuat hatiku bisa menghangat setiap malamnya.
"Kamu akan mamiq nikahkan dengan Lalu Repatmaje". Suara ayahku
memecah kesunyian malam. Hanya itu yang ia katakan, kemudian pergi.
"Apa lagi ini
Tuhan?". Pekik hatiku. Aku tau ayahku sangat paham apa yang telah terjadi
padaku. Ia tau bahwa aku telah diperkosa. Dan ia akan menjodohkanku untuk
menutupi aib.
"Lalu repatmaje?". Lirih kusebut namanya pada dinding bambu.
Dia sudah kuanggap seperti kakak. Kami tumbuh besar bersama. Dia selalu
melindungiku jika ada yang mengganggu. Dia sangat menyayangiku. Dan aku sangat
menyayanginya.Tapi sebagai kakak. Aku tidak bisa mencintainya lebih. Tidak
bisa. Dan aku tidak mau dia ikut menanggung semua yang telah terjadi. Dan
airmataku mengalir. Tanpa suara. Aku tak mau ibuku mendengar kesedihanku. Sudah
cukup beban hati yang ia tanggung selama membesarkanku. Ayahku menikah lagi
karena ingin anak laki-laki yang tak mampu ia dapat dari istri pertamanya. Tapi
malang, aku terlahir sebagai perempuan. Maka setelah itu ayahku tak mau punya
anak lagi dari ibuku. Dia hanya sebagai istri. Ya, istri kedua yang dicari
sesekali. Aku tau ia sangat sedih menjalani hidupnya selama ini. Aku tau ia
ingin pulang ke rumah orang tuanya, tapi apalah daya orang tuanya hanya
kalangan sudra. Tak mungkin ayahku memberi ijin.
*****
Pagi masih buta. Udara masih
dingin. Kudengar suara pintu diketuk. Aku beringsut bangun. Tubuhku masih
terasa sakit. Saat kubuka pintu, sesosok tubuh telah duduk di berugak. Dengan
wajah tampannya ia tersenyum lembut padaku.
Lalu Repatmaje.
"Dinde, kau baik-baik saja?. Aku mengkhawatirkanmu. Aku tak bisa
tidur, makanya sepagi ini aku sudah disini". Wajah lembut itu begitu baik.
Teduh.
"Nggih, tiang baik". Senyumku getir.
"Alhamdulillah".
Kemudian ia tersenyum lagi sambil menatapku. Senyum yang begitu dalam. Merasuki
hatiku. Ya, aku tau ia sangat menyayangiku. Kemudian aku tertunduk. Aku tak mau
ia menangkap gurat sedih dari bola mataku.
"Semalam mamiqdinde datang ke rumah. Menemuiku
dan keluarga". Ia terdiam. Aku terdiam.
"Apakah dinde menyetujui rencana itu?. Rencana
perjodohan kita". Ia kembali menatap wajahku yang masih tertunduk.
Aku tak sanggup mengatakan
apapun. Lidahku kaku. Hanya bulir bening yang tiba-tiba hadir di sudut mataku.
Kutahan sekuat tenaga. Tapi tetap saja aku tak mampu menahannya. Kesunyian
menjelma di antara kami. Begitu mengiris perasaan.Aku tak tau harus mengatakan
apa. Hanya sepi.
"Apapun yang telah
terjadi pada dinde. Aku akan
menerimanya. Aku mencintamu melebihi yang kau tau. Melebihi siapapun. Melebihi
yang bisa kau rasakan. Dan tidak akan kubiarkan kau menangis lagi setelah ini.
Tidak akan, sampai kapanpun". Kemudian ia pergi meninggalkanku yang masih
duduk terpaku. Kalimat terakhirnya membuatku seperti di sambar petir. Aku
seperti mati rasanya. Dan airmataku semakin deras saja. Aku berlari masuk ke
dalam rumah. Menghempaskan tubuhku di pojok kamar. Ingin rasanya aku berteriak.
Kugigit bibirku yang gemetar. Perasaanku hancur.
*****
Waktu terasa berjalan sangat
lamban. Aku hanya diam di dalam kamar. Aku tak ingin melihat sekelilingku. Aku
tak akan sanggup melihat tatapan mereka. Aku tak akan mampu mendengar
pembicaraan mereka. Aku sangat tau, seluruh kampung sedang membicarakanku.
Mereka akan megatakan bahwa aku bodoh. Bahwa aku tak punya malu kembali ke
rumah setelah dilarikan paksa oleh seorang lelaki. Bahwa aku permpuan goblok
yang menolak menikah dengan Lalu
Tanggih. Lelaki yang hanya mereka ketahui sebagai lelaki kaya dari keturunan
bangsawan. Bahwa mereka akan mencibirku. Menyalahkanku. Mengatakan aku sombong
dan seterusnya. "Ahhh...kenapa waktu tak berhenti saja. Mungkin itu akan
lebih baik untukku".
Tapi tiba-tiba, bayangan Wire
singgah di pelupuk mataku. Akupun segera berdiri. Mengambil kendi tanah yang
biasa kupakai mengambil air. Aku tau, pasti Wire sangat mengkhawatirkanku. Ia
pasti menungguku di jalan luar kampung adat. Jalan menuju sumur tempat kami
biasa mengambil air untuk minum. Wire tak akan pernah berani datang ke rumahku.
Karena ia hanyalah kalangan sudra. Ya...pemuda sudra yang telah menaklukkan
hatiku. Hanya Wire.
Sepanjang jalan yang kulewati, semua orang
menatapku dengan tatapan aneh. Saat melewati ibu-ibu yang sedang duduk sambil
makan sirih, aku tak menyapa mereka. Sontak hatiku teriris saat ada yang
mengatakan.
"Eh...pengantin gagal
lewat".
Dan aku tak menjawab apa-apa.
Hanya membungkuk dan berlalu. Setelah itu salah satu bicara tanpa beban.
"Rengganis bodoh sekali ya menolak Lalu
Tanggih". Yang lain lagi berbicara, "sepertinya dia akan dijodohkan
dengan Lalu Repatmaje".
Kakiku sebenarnya sudah tak
kuat lagi menjejak bumi. Tapi aku harus bertemu Wire. Ia pasti sudah menungguku
sepanjang hari. Aku mempercepat langkah. Dan benar saja, dari jauh aku
melihatnya duduk di bawah pohon kelapa. Tak jauh dari jalan yang akan kulewati.
Ada bahagia yang menyelinap di rongga hatiku saat menangkap sosoknya. Seperti
musafir yang menemukan oase di tengah gersangnya gurun. Menyejukkan. Dan kini,
ia berdiri tepat di hadapanku. Menatapku lekat. Begitu tajam dan dalam.
"Rengganis,,kau
baik-baik saja?". Dan aku hanya diam. Terpaku.
"Rengganis, jawab aku.
Kau tidak apa-apa kan?. Jangan diam saja, aku sangat mengkhawatirkanmu".
Dia menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Aku tidak baik".
Air mataku tumpah. Aku tak bisa sembunyikan sedihku di hadapannya.
"Apa yang terjadi
padamu?". Ia terlihat sedih.
"Tanggih sudah mengambil
semuanya dariku". Aku tak kuat lagi untuk berdiri. Kakiku tak kuat
menopang tubuhku. Aku terduduk. Air mataku menganak sungai.
"Aku akan membunuh
Tanggih!". Suaranya geram.
"Jangan lakukan itu
Wire. Jika kau membunuh Tanggih, keluarganya pasti akan membunuhmu".
Aku masih terisak.
"Aku rela mati untuk
membalas semua perbuatannya pada Rengganis".
"Jika kau mati, aku juga
akan mati. Jika aku mati, ayahku pasti akan membunuh semua keluarga Tanggih.
Akan ada perang. Biarlah aku menanggung semua ini. Biarlah aku berkorban demi
kampung adat". Kami terdiam sejenak. Bergumul dengan fikiran
masing-masing.
"Jika tidak memikirkan
nasib kampung adat, aku pasti sudah mengumumkan kejahatan Tanggih padaku. Saat
itu dia mengancamku. Aku tidak takut pada ancaman itu. Bahkan jika dia
membunuhku sekalipun, itu lebih baik bagiku. Tapi kau tau, kematian selalu di
balas kematian di sini". Aku melanjutkan, aku lihat Wire berusaha meredam
amarahnya.
"Kau sungguh bijak
Rengganis. Itulah kenapa aku sangat mencintaimu". Dia menatapku lembut. Memberikan
kesejukan. Seperti air hujan yang mengobati kerinduan tanah kemarau.
Menguatkanku. Membuat hatiku hidup kembali.
"Tapi.....Ayahku akan
menjodohkanku dengan Lalu
Repatmaje".
"Tidak. Aku tidak akan
membiarkan itu terjadi. Menikahlah denganku. Nanti malam aku akan menunggumu di
sini. Kita kawin lari".
"Tidak. Aku tidak mau
kawin lari. Meskipun ini adat kita. Tapi adat inilah yang telah membuat Tanggih
melarikanku. Walaupun kita harus mengambilku malam hari, setidaknya kita harus
mendapat restu ayahku". Adat suku sasak memang unik. Seorang gadis tidak
boleh diambil pada siang hari. Jika itu dilakukan maka akan dianggap melanggar
hukum adat. Pelakunya akan mendapat denda dan sanksi adat. Ini memang sangat
berbeda dari daerah lain tapi inilah adat yang berlaku turun temurun.
"Ayahmu tidak mungkin
merestuimu menikah denganku. Aku hanyalah sudra. Aku bukan bangsawan".
"Kita tidak pernah tau
jika kita tidak berusaha. Bukankah kau sangat mencintaiku?". Kali ini aku
memberanikan diri menatapnya.
"Baiklah, nanti malam
aku akan datang ke rumahmu. Aku akan menemui ayahmu". Aku sangat bahagia
mendengarnya. Meskipun kami tau ini tidak akan mudah. Jika aku menikah dengan
Wire maka aku akan dibuang dari keluargaku. Aku tidak boleh datang lagi ke
rumah orang tuaku. Bisa setahun. Bisa selamanya. Tergantung keputusan sidang
adat. Tapi inilah jalan cinta yg harus kami tempuh. Tak mudah memang, tapi
hidup selalu menyediakan banyak tanda tanya untuk ditemukan jawabannya.
*****
Aku pulang dengan rasa
bahagia berbalut khawatir. Khawatir ayahku akan menolak kedatangan Wire nanti
malam. Khawatir akan kesedihan ibuku jika aku dibuang dari keluarga.
Sesampainya di rumah, aku
langsung kedapur mengisi tempat penyimpanan air. Ayah dan ibuku sedang duduk di
berugak.
"Rengganis,
kesinilah". Ibuku memanggilku lembut.
Aku duduk tertunduk di
samping ibuku. Aku akan memberitahu ayahku bahwa nanti malam Wire akan datang
menemuinya. Tapi aku masih takut untuk bicara.
"Dinde". Ayahku mulai bicara. Dan aku hanya diam.
"Nanti malam sehabis
magrib Repatmaje akan menjemputmu. Kau harus menikah dengan Repatmaje malam ini
juga. Itu sudah mamiq bicarakan
dengan semua keluarga besar kita".
Mulutku terkatup. Sudah tak
ada gunanya lagi aku bicara tentang Wire pada ayahku. Pertanyaanku terjawab sudah.
Perjalanan cintaku sampai disini. Di berugak ini. Di hadapan ayahku. Ya, ayahku
yang sangat kucintai.
Rona jingga mengantar sang penguasa hari
menuju peraduannya. Menyungguhkan rasa yang tak dapat kudefinisikan. Malam yang
dipenuhi rasa takut. Malam yang diselimuti ketidakberdayaan. Kuharap Wire lebih
dulu datang dari Repatmaje. Setidaknya dia sudah berusaha meyakinkan ayahku.
Setidaknya masih ada harapan meski itu sangat sedikit. Kita tidak pernah tau
dimana Tuhan menyelipkan keajaiban. Mungkin pada diri Wire. Mungkin ia mampu
meluluhkan hati ayahku seperti ia dengan mudah menaklukkan hatiku.
Magrib telah berlalu. Tak
satupun yang datang. Tidak Wire, tidak juga Repatmaje. Ini seperti menunggu
hukuman dari algojo saja. Hatiku tak hentinya berdebar. Isya pun berlalu. Belum
juga ada yang datang. Aku menengok ke ujung jalan. Sepi. Aku masuk ke dalam
rumah kembali. Aku duduk meringkuk di pojok kamar.
"Wire, kumohon
datanglah". Aku berbisik pada dinding bambu.
Tok...tok...Suara pintu di
ketuk. Akupun berlari. Kubuka pintu dengan cepat.
"Assalamu'alaikum".
Dia berdiri di hadapanku.
"Wa'alaikumsalam".
Yang kutatap adalah mata teduh. Bukan mata dengan tatapan tajam. Repatmaje.
Aku diam. Aku pergi menyalami
ayah dan ibuku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Wire tak datang. Maka aku
harus pergi dengan Repatmaje. Setelah dia meminta ijin pada ayah dan ibuku.
Kamipun berangkat ke rumah Repatmaje. Inilah takdirku. Tak ada yang bisa
kukatakan lagi. Kami melangkah di bawah sang rembulan. Hening menyelimuti.
"Dinde, maafkan aku. Aku tau kau tak mau menikah denganku. Aku tau
kau terpaksa karena ayahmu dan kelurga besar". Ia berusaha mencairkan
suasana. Tapi aku tak sanggup bicara.
"Tadi aku bertemu Wire.
Dia titip salam untukmu. Dia sangat mencintaimu. Cintanya padamu membuat dia
tak akan sanggup melihatmu bersedih sepanjang hidup karea dibuang keluargamu
jika kau menikah dengannya". Dan airmataku mengalir.
"Kaq Repatmaje, kenapa
kau mau menikah denganku?.Kau tau aku tidak mencintaimu". Aku terisak.
"Aku percaya padamu
Rengganis. Sejak kita kecil sampai kapanpun". Aku masih terisak.
"Aku mencintaimu. Dan
aku percaya pada cintaku. Aku percaya bahwa aku akan mampu membuatmu
mencintaiku. Meski kau butuh banyak waktu untuk itu. Aku percaya bahwa aku akan
selalu setia menunggu cintamu. Maukah kau percaya padaku Rengganis".
Lidahku kaku. Aku
menghentikan langkah. Kami sudah hampir sampai di rumahnya Repatmaje.
"Aku percaya
padamu". Dengan suara bergetar kalimat itu keluar dari mulutku. Kulihat
binar di mata teduhnya. Langit, rembulan, bintang menjadi saksi betapa ia tak
pernah meninggalkanku. Sejak aku kecil. Dialah lelaki berwajah teduh yang
selalu menerimaku. Bagamanapun kondisiku. Saat ini aku tak tau apakah aku harus
baagia atau berduka. Jika ada garis antara keduanya maka di atas garis itulah
kini aku berdiri.
2 komentar
Keren! Dr dulu sy selalu penasaran dgn adat 'menculik' ini. Hehee..suka juga dgn nama Rengganis-nya :)
hehe...yang ekstrim sdh gak ada zaman skrng,,,adax zaman dlu kala,,,:)