Sabtu, 01 November 2014

Pengorbanan Cinta Rengganis



Aku meronta.Mencakar.Memukul. Semua sia-sia. Badan itu terlalu kekar. Badanku di dorong masuk ke dalam mobil tua yang biasa dijadikan angkutan umum. Dan aku terdesak di pojok mobil. Mataku terbelalak melihat lima orang laki-laki dengan tampang bringas. Tapi sontak bola mataku seakan terlempar dari pelupuknya. Ada satu lelaki yg wajahnya agak bersih. Lelaki yang tak asing. Dia mendekatiku dengan senyum menjijikkan.
"Cih". Aku meludahi mukanya.
"Silaq1Lale2, lakukan apapun yang kau suka. Aku sudah melarikanmu sekarang".
"Tidak sudi tiang3 nikah sama pelinggih4". Satu tamparan tanganku mendarat di mukanya.
Lelaki itu mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Mukanya memerah. Bau minuman keras berhamburan dari mulutnya yang semakin mendekat ke wajahku.
"Jangan buat saya marah sama kamu!". Matanya seakan mau keluar.
"Mamiq5 pasti akan datang belas6 aku. Tidak rela aku nikah sama kamu!. Lebih baik aku mati!". Sudah tak ada bahasa halus ala bangsawan sasak7. Sudah lupa bahwa dia adalah salah satu keturunan Raden yang harus dihormati. Nyatanya perbuatannya tak terhormat. Meskipun ngoros atau melarikan anak gadis dengan paksa adalah hal yang di bolehkan dalam adat sasak. Tapi itu tetap tidak terhormat bagiku.
"Pokoknya aku tidak mau tau, kalau mamiq-mu nge-belas, kamu harus bilang suke8". Dia berteriak.
"Tidak sudi!. Cih". Sekali lagi aku meludahi wajahnya.
Setelah itu, pukulan keras menghantam muka dan kepalaku. Aku pingsan.


*****
   Aku tersadar. Aku sudah berada di sebuah kamar. Mulutku ditutup. Tanganku terikat. Aku merasakan sakit di wajah dan kepalaku. Tapi itu kuabaikan setelah menyadari sakit di selangkangnku. Aku diperkosa. Aku hanya bisa meronta. Memelototi sesosok tubuh di sampingku. Air mataku meleleh.
"Tiang tidak punya cara lain agar pelinggih mau menikah denganku. Tiang sangat mencintai pelinggih". Mukanya sangat menjijikkan.
"Cinta setan!". Umpat hatiku. Air mataku deras mengalir.
"Nanti kalau mamiq pelinggih datang nge-belas, tolong bilang suke nggih9". Dia bicara dengan nada memohon.
" Tidak sudi!, lebih baik aku mati!". Batinku berteriak.
Detik itu, aku mengutuk diriku yang terlahir di suku yang menjadikan kawin lari sebagai adatnya. Orang tua tidak tau apakah anaknya di larikan oleh orang baik atau tidak. Apakah anaknya menyukai orang yang melarikannya atau tidak. Adat kawin lari memungkinkan orang membawa lari paksa gadis yang tidak menerima cintanya. Aku mengutuk diriku. Aku mengutuk adat. Aku mengutuk lelaki di sampingku.
Di luar terdengar mulai ramai. Ia melepaskan ikatanku. Membuka penutup mulutku. Dengan wajah tanpa berdosa. Wajah yang akan aku benci seumur hidupku bahkan mungkin hingga kematianku.
Lale, sekali lagi tiang mohon agar pelinggih bilang suke". Dia keluar meninggalkanku.
" Aku tidak akan pernah mau menikah dengan iblis. Apapun yang sudah kamu lakukan, itu akan menjadi penyesalanmu seumur hidup". Dengan bibir bergetar aku berucap. Air mataku menganak sungai. "Inikah takdir?". Pekik batinku.[1]
"Jika kamu katakan kepada semua orang apa yang telah kulakukan,maka banyak orang yang akan mati".Wajahnya benar-benar seperti setan.
Beberapa lama aku meringkuk sendiri di pojok kamar. Dinginnya lantai menusuk sampai hatiku. Ya..hatiku yang terasa membatu. Menyimpan sebongkah dendam. Rasa sakit tak kuhiraukan. Yang aku fikirkan adalah kebencian. Tiba-tiba pintu di buka oleh seorang perempuan.
"Bibi",aku memeluk erat perempuan itu.
"Dinde10inges11, kamu baik-baik saja?". Dia menatapku curiga
"Iya, tiang baik". Aku berusaha menyembunyikan semuanya. Aku tau lelaki iblis itu tidak bercanda dengan ancamannya.
"Kalau begitu, ayo kita keluar. Semua orang sudah menunggu". Kamipun melangkah keluar. Kukuatkan langkahku. Perih itu membuatku semakin tegak. Perih itu mengokohkan kebencianku.
Para sesepuh sudah berkumpul di halaman. Ada tetua adat dari kampung lelaki itu, dan ayahku beserta tetua adat dari kampungku.
"Lale Rengganis, apakah kamu suke menikah dengan Lalu12 Tanggih?. Pertanyaan maut itupun terlontar. Semua diam. Semua penasaran dengan jawabanku. Kutatap mata ayahku. Kubaca dengan jelas garis wajahnya mengkhawatirkanku. Kutatap lekat wajah lelaki itu. Aku tau dia gila karena mencintaiku. Aku tau dia benar-benar ingin menikahiku. Aku tau dia dikuasai setan. Di sudut halaman kulihat pemuda yang begitu baik, lelaki yang kusayangi dan kuanggap sebagai kakak, Lalu Repatmaje. Dan di sudut lain halaman kutatap wajah teduh. Wajah yang begitu kucintai. Wire.
"Ampure13, tiang tidak suke". Hanya itu yang keluar dari mulutku. Membuat semua orang terkrjut. Lalu Tanggih menatap mataku lekat, dan mataku nanar merasuki bola matanya. "Seumur hidup, kau akan menyesali perbuatanmu. Bahkan hingga ke akhirat, aku akan menuntutmu. Dan aku mau agar akulah yang kelak akan mendorongmu ke dalam jurang neraka". Hatiku bergumam.

*****
    Kutemukan ibuku menangis di kamar. Ia langsung memelukku erat. Aku sangat tau bahwa ia mencintaiku.
"Dinde inges, kamu baik2 saja?". Ia memperhatikan pipiku yqng membiru.
Dan aku tak mampu lagi menahan airmataku. Tangisku pecah bersama tangisnya. Aku begitu rapuh di hadapan perempuan itu. Perempuan yang paling kucintai. Perempuan jajar karang14 yang dicintai ayahku. Yang telah melahirkanku. Adat sasak tidak membolehkan perempuan dari kasta yang lebih tinggi menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah. Jika itu terjadi maka perempuan itu harus di buang dari keluarganya dan gelar Lale di depan namanya harus dihapus. Tapi itu tidak berlaku sebaliknya. Lelaki dengan kasta tinggi boleh menikah dengan perempuan manapun yang ia sukai.
"Anakku, kamu tidak apa-apa kan?". Ia menegaskan pertanyaannya sambil memelukku erat.
Dan bibirku terkatup. Aku tak mampu bicara. Tubuhku gemetar. Hanya tangisku yang keluar. Sekuat tenaga kutahan airmataku, tapi aku tak sanggup.
"Inaq15 harus beritahu mamiq-mu". Ia sangat tau apa yang menimpaku. Ia telah lebih dulu merasakan apa yang kurasakan. Ia hanyalah perempuan sudra yang tak mampu melawan takdirnya. Keluarganya tak punya keberanian untuk menjemputnya delapan belas tahun yang lalu. Ia terpaksa menikah dengan mamiq. Rela menjadi istri kedua demi aku.

    Malam terasa sangat dingin. Menusuk tulangku. Di bawah atap ilalang, di atas tikar pandan aku meringkuk. Dunia terasa sempit menghimpit, memecahkan pembuluh darahku.Aku ingin mati saja. Tapi, aku tak mampu meninggalkan ibuku. Aku tak mampu meninggalkan Wire. Merekalah yang membuat hatiku bisa menghangat setiap malamnya.
"Kamu akan mamiq nikahkan dengan Lalu Repatmaje". Suara ayahku memecah kesunyian malam. Hanya itu yang ia katakan, kemudian pergi.
"Apa lagi ini Tuhan?". Pekik hatiku. Aku tau ayahku sangat paham apa yang telah terjadi padaku. Ia tau bahwa aku telah diperkosa. Dan ia akan menjodohkanku untuk menutupi aib.
"Lalu repatmaje?". Lirih kusebut namanya pada dinding bambu. Dia sudah kuanggap seperti kakak. Kami tumbuh besar bersama. Dia selalu melindungiku jika ada yang mengganggu. Dia sangat menyayangiku. Dan aku sangat menyayanginya.Tapi sebagai kakak. Aku tidak bisa mencintainya lebih. Tidak bisa. Dan aku tidak mau dia ikut menanggung semua yang telah terjadi. Dan airmataku mengalir. Tanpa suara. Aku tak mau ibuku mendengar kesedihanku. Sudah cukup beban hati yang ia tanggung selama membesarkanku. Ayahku menikah lagi karena ingin anak laki-laki yang tak mampu ia dapat dari istri pertamanya. Tapi malang, aku terlahir sebagai perempuan. Maka setelah itu ayahku tak mau punya anak lagi dari ibuku. Dia hanya sebagai istri. Ya, istri kedua yang dicari sesekali. Aku tau ia sangat sedih menjalani hidupnya selama ini. Aku tau ia ingin pulang ke rumah orang tuanya, tapi apalah daya orang tuanya hanya kalangan sudra. Tak mungkin ayahku memberi ijin.

*****
Pagi masih buta. Udara masih dingin. Kudengar suara pintu diketuk. Aku beringsut bangun. Tubuhku masih terasa sakit. Saat kubuka pintu, sesosok tubuh telah duduk di berugak. Dengan wajah tampannya ia tersenyum lembut padaku. Lalu Repatmaje.
"Dinde, kau baik-baik saja?. Aku mengkhawatirkanmu. Aku tak bisa tidur, makanya sepagi ini aku sudah disini". Wajah lembut itu begitu baik. Teduh.
"Nggih, tiang baik". Senyumku getir.
"Alhamdulillah". Kemudian ia tersenyum lagi sambil menatapku. Senyum yang begitu dalam. Merasuki hatiku. Ya, aku tau ia sangat menyayangiku. Kemudian aku tertunduk. Aku tak mau ia menangkap gurat sedih dari bola mataku.
"Semalam mamiqdinde datang ke rumah. Menemuiku dan keluarga". Ia terdiam. Aku terdiam.
"Apakah dinde menyetujui rencana itu?. Rencana perjodohan kita". Ia kembali menatap wajahku yang masih tertunduk.
Aku tak sanggup mengatakan apapun. Lidahku kaku. Hanya bulir bening yang tiba-tiba hadir di sudut mataku. Kutahan sekuat tenaga. Tapi tetap saja aku tak mampu menahannya. Kesunyian menjelma di antara kami. Begitu mengiris perasaan.Aku tak tau harus mengatakan apa. Hanya sepi.
"Apapun yang telah terjadi pada dinde. Aku akan menerimanya. Aku mencintamu melebihi yang kau tau. Melebihi siapapun. Melebihi yang bisa kau rasakan. Dan tidak akan kubiarkan kau menangis lagi setelah ini. Tidak akan, sampai kapanpun". Kemudian ia pergi meninggalkanku yang masih duduk terpaku. Kalimat terakhirnya membuatku seperti di sambar petir. Aku seperti mati rasanya. Dan airmataku semakin deras saja. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Menghempaskan tubuhku di pojok kamar. Ingin rasanya aku berteriak. Kugigit bibirku yang gemetar. Perasaanku hancur.

*****
Waktu terasa berjalan sangat lamban. Aku hanya diam di dalam kamar. Aku tak ingin melihat sekelilingku. Aku tak akan sanggup melihat tatapan mereka. Aku tak akan mampu mendengar pembicaraan mereka. Aku sangat tau, seluruh kampung sedang membicarakanku. Mereka akan megatakan bahwa aku bodoh. Bahwa aku tak punya malu kembali ke rumah setelah dilarikan paksa oleh seorang lelaki. Bahwa aku permpuan goblok yang menolak menikah dengan Lalu Tanggih. Lelaki yang hanya mereka ketahui sebagai lelaki kaya dari keturunan bangsawan. Bahwa mereka akan mencibirku. Menyalahkanku. Mengatakan aku sombong dan seterusnya. "Ahhh...kenapa waktu tak berhenti saja. Mungkin itu akan lebih baik untukku".
Tapi tiba-tiba, bayangan Wire singgah di pelupuk mataku. Akupun segera berdiri. Mengambil kendi tanah yang biasa kupakai mengambil air. Aku tau, pasti Wire sangat mengkhawatirkanku. Ia pasti menungguku di jalan luar kampung adat. Jalan menuju sumur tempat kami biasa mengambil air untuk minum. Wire tak akan pernah berani datang ke rumahku. Karena ia hanyalah kalangan sudra. Ya...pemuda sudra yang telah menaklukkan hatiku. Hanya Wire.
    Sepanjang jalan yang kulewati, semua orang menatapku dengan tatapan aneh. Saat melewati ibu-ibu yang sedang duduk sambil makan sirih, aku tak menyapa mereka. Sontak hatiku teriris saat ada yang mengatakan.
"Eh...pengantin gagal lewat".
Dan aku tak menjawab apa-apa. Hanya membungkuk dan berlalu. Setelah itu salah satu bicara tanpa beban. "Rengganis bodoh sekali ya menolak Lalu Tanggih". Yang lain lagi berbicara, "sepertinya dia akan dijodohkan dengan Lalu Repatmaje".
Kakiku sebenarnya sudah tak kuat lagi menjejak bumi. Tapi aku harus bertemu Wire. Ia pasti sudah menungguku sepanjang hari. Aku mempercepat langkah. Dan benar saja, dari jauh aku melihatnya duduk di bawah pohon kelapa. Tak jauh dari jalan yang akan kulewati. Ada bahagia yang menyelinap di rongga hatiku saat menangkap sosoknya. Seperti musafir yang menemukan oase di tengah gersangnya gurun. Menyejukkan. Dan kini, ia berdiri tepat di hadapanku. Menatapku lekat. Begitu tajam dan dalam.
"Rengganis,,kau baik-baik saja?". Dan aku hanya diam. Terpaku.
"Rengganis, jawab aku. Kau tidak apa-apa kan?. Jangan diam saja, aku sangat mengkhawatirkanmu". Dia menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Aku tidak baik". Air mataku tumpah. Aku tak bisa sembunyikan sedihku di hadapannya.
"Apa yang terjadi padamu?". Ia terlihat sedih.
"Tanggih sudah mengambil semuanya dariku". Aku tak kuat lagi untuk berdiri. Kakiku tak kuat menopang tubuhku. Aku terduduk. Air mataku menganak sungai.
"Aku akan membunuh Tanggih!". Suaranya geram.
"Jangan lakukan itu Wire. Jika kau membunuh Tanggih, keluarganya pasti akan membunuhmu".
Aku masih terisak.
"Aku rela mati untuk membalas semua perbuatannya pada Rengganis".
"Jika kau mati, aku juga akan mati. Jika aku mati, ayahku pasti akan membunuh semua keluarga Tanggih. Akan ada perang. Biarlah aku menanggung semua ini. Biarlah aku berkorban demi kampung adat". Kami terdiam sejenak. Bergumul dengan fikiran masing-masing.
"Jika tidak memikirkan nasib kampung adat, aku pasti sudah mengumumkan kejahatan Tanggih padaku. Saat itu dia mengancamku. Aku tidak takut pada ancaman itu. Bahkan jika dia membunuhku sekalipun, itu lebih baik bagiku. Tapi kau tau, kematian selalu di balas kematian di sini". Aku melanjutkan, aku lihat Wire berusaha meredam amarahnya.
"Kau sungguh bijak Rengganis. Itulah kenapa aku sangat mencintaimu". Dia menatapku lembut. Memberikan kesejukan. Seperti air hujan yang mengobati kerinduan tanah kemarau. Menguatkanku. Membuat hatiku hidup kembali.
"Tapi.....Ayahku akan menjodohkanku dengan Lalu Repatmaje".
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Menikahlah denganku. Nanti malam aku akan menunggumu di sini. Kita kawin lari".
"Tidak. Aku tidak mau kawin lari. Meskipun ini adat kita. Tapi adat inilah yang telah membuat Tanggih melarikanku. Walaupun kita harus mengambilku malam hari, setidaknya kita harus mendapat restu ayahku". Adat suku sasak memang unik. Seorang gadis tidak boleh diambil pada siang hari. Jika itu dilakukan maka akan dianggap melanggar hukum adat. Pelakunya akan mendapat denda dan sanksi adat. Ini memang sangat berbeda dari daerah lain tapi inilah adat yang berlaku turun temurun.
"Ayahmu tidak mungkin merestuimu menikah denganku. Aku hanyalah sudra. Aku bukan bangsawan".
"Kita tidak pernah tau jika kita tidak berusaha. Bukankah kau sangat mencintaiku?". Kali ini aku memberanikan diri menatapnya.
"Baiklah, nanti malam aku akan datang ke rumahmu. Aku akan menemui ayahmu". Aku sangat bahagia mendengarnya. Meskipun kami tau ini tidak akan mudah. Jika aku menikah dengan Wire maka aku akan dibuang dari keluargaku. Aku tidak boleh datang lagi ke rumah orang tuaku. Bisa setahun. Bisa selamanya. Tergantung keputusan sidang adat. Tapi inilah jalan cinta yg harus kami tempuh. Tak mudah memang, tapi hidup selalu menyediakan banyak tanda tanya untuk ditemukan jawabannya.
*****
Aku pulang dengan rasa bahagia berbalut khawatir. Khawatir ayahku akan menolak kedatangan Wire nanti malam. Khawatir akan kesedihan ibuku jika aku dibuang dari keluarga.
Sesampainya di rumah, aku langsung kedapur mengisi tempat penyimpanan air. Ayah dan ibuku sedang duduk di berugak.
"Rengganis, kesinilah". Ibuku memanggilku lembut.
Aku duduk tertunduk di samping ibuku. Aku akan memberitahu ayahku bahwa nanti malam Wire akan datang menemuinya. Tapi aku masih takut untuk bicara.
"Dinde". Ayahku mulai bicara. Dan aku hanya diam.
"Nanti malam sehabis magrib Repatmaje akan menjemputmu. Kau harus menikah dengan Repatmaje malam ini juga. Itu sudah mamiq bicarakan dengan semua keluarga besar kita".
Mulutku terkatup. Sudah tak ada gunanya lagi aku bicara tentang Wire pada ayahku. Pertanyaanku terjawab sudah. Perjalanan cintaku sampai disini. Di berugak ini. Di hadapan ayahku. Ya, ayahku yang sangat kucintai.
   Rona jingga mengantar sang penguasa hari menuju peraduannya. Menyungguhkan rasa yang tak dapat kudefinisikan. Malam yang dipenuhi rasa takut. Malam yang diselimuti ketidakberdayaan. Kuharap Wire lebih dulu datang dari Repatmaje. Setidaknya dia sudah berusaha meyakinkan ayahku. Setidaknya masih ada harapan meski itu sangat sedikit. Kita tidak pernah tau dimana Tuhan menyelipkan keajaiban. Mungkin pada diri Wire. Mungkin ia mampu meluluhkan hati ayahku seperti ia dengan mudah menaklukkan hatiku.
Magrib telah berlalu. Tak satupun yang datang. Tidak Wire, tidak juga Repatmaje. Ini seperti menunggu hukuman dari algojo saja. Hatiku tak hentinya berdebar. Isya pun berlalu. Belum juga ada yang datang. Aku menengok ke ujung jalan. Sepi. Aku masuk ke dalam rumah kembali. Aku duduk meringkuk di pojok kamar.
"Wire, kumohon datanglah". Aku berbisik pada dinding bambu.
Tok...tok...Suara pintu di ketuk. Akupun berlari. Kubuka pintu dengan cepat.
"Assalamu'alaikum". Dia berdiri di hadapanku.
"Wa'alaikumsalam". Yang kutatap adalah mata teduh. Bukan mata dengan tatapan tajam. Repatmaje.
Aku diam. Aku pergi menyalami ayah dan ibuku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Wire tak datang. Maka aku harus pergi dengan Repatmaje. Setelah dia meminta ijin pada ayah dan ibuku. Kamipun berangkat ke rumah Repatmaje. Inilah takdirku. Tak ada yang bisa kukatakan lagi. Kami melangkah di bawah sang rembulan. Hening menyelimuti.
"Dinde, maafkan aku. Aku tau kau tak mau menikah denganku. Aku tau kau terpaksa karena ayahmu dan kelurga besar". Ia berusaha mencairkan suasana. Tapi aku tak sanggup bicara.
"Tadi aku bertemu Wire. Dia titip salam untukmu. Dia sangat mencintaimu. Cintanya padamu membuat dia tak akan sanggup melihatmu bersedih sepanjang hidup karea dibuang keluargamu jika kau menikah dengannya". Dan airmataku mengalir.
"Kaq Repatmaje, kenapa kau mau menikah denganku?.Kau tau aku tidak mencintaimu". Aku terisak.
"Aku percaya padamu Rengganis. Sejak kita kecil sampai kapanpun". Aku masih terisak.
"Aku mencintaimu. Dan aku percaya pada cintaku. Aku percaya bahwa aku akan mampu membuatmu mencintaiku. Meski kau butuh banyak waktu untuk itu. Aku percaya bahwa aku akan selalu setia menunggu cintamu. Maukah kau percaya padaku Rengganis".
Lidahku kaku. Aku menghentikan langkah. Kami sudah hampir sampai di rumahnya Repatmaje.
"Aku percaya padamu". Dengan suara bergetar kalimat itu keluar dari mulutku. Kulihat binar di mata teduhnya. Langit, rembulan, bintang menjadi saksi betapa ia tak pernah meninggalkanku. Sejak aku kecil. Dialah lelaki berwajah teduh yang selalu menerimaku. Bagamanapun kondisiku. Saat ini aku tak tau apakah aku harus baagia atau berduka. Jika ada garis antara keduanya maka di atas garis itulah kini aku berdiri.




1.         Silahkan  2. Gelar perempuan bangsawan sasak 3.Saya 4. Kamu 5. Ayah 6. menjemput 7. Suku di Lombok 8. Suka/rela 9. Iya
10. Anak perempuan 11. Cantik 12. Gelar bangsawan untuk laki-laki 13. Maaf 14.Kasta terendah (sudra) 15. Ibu

2 komentar

Keren! Dr dulu sy selalu penasaran dgn adat 'menculik' ini. Hehee..suka juga dgn nama Rengganis-nya :)

hehe...yang ekstrim sdh gak ada zaman skrng,,,adax zaman dlu kala,,,:)