BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Usia pendidikan hampir sama dengan
usia peradaban manusia dan tak dapat kita pungkiri bahwa pendidikan adalah
suatu hal yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk menciptakan manusia
yang bukan hanya terdidik tapi juga yang nantinya akan meneruskan perjuangan
bangsa.
Di
era globalisasi ini masyarakat berlomba-lomba untuk mengenyam pendidikan.
Terlebih lagi untuk menyongsong Asean Free Trade Area tahun 2010 dan World
Trade Area tahun 2020 mendatang mengharuskan setiap warga negara Indonesia
untuk mempersiapkan diri menyongsong kedua hal itu dimana masyarakat kita tidak
hanya akan bersaing sesamanya tetapi juga akan bersaing dengan orang-orang luar
negeri yang pendidikan mereka jauh lebih baik dibandingkan pendidikan yang di
terima masyarakat Indonesia.Generasi muda perlu disiapkan untuk bisa membawa
negara ini, menuju persainagan hebat Tapi sangat disayangkan pendidikan saat
ini bagi sebagian besar masyarakat kurang mampu dirasakan semakin tak
terjangkau. Masalah pelik yang kemudian dihadapi bangsa indonesia adalah banyaknya
jumlah anak putus sekolah yang tempat tinggal mereka di daerah terpencil
sehingga untuk menjangakaunya bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Hal ini
menimbulkan image bahwa kurangnya pemerataan pendidikan di wilayah desa
terpencil khususnya bagi anak-anak yang putus sekolah. yang sebagian besar
diantaranya termasuk masyarakat kurang mampu.
Berbicara masalah kurangnya
pemerataan pendidikan, marilah kita menilik kembali pada Undang Undang Dasar
Negara Indonesia yang sudah secara jelas mengatur masalah ini. Dalam UUD No. 11
tahun 2003 dinyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminas” Terlebih lagi dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 pasal
5 ayat 3 lebih dikhususkan lagi untuk masyarakat desa terpencil yang
menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia yang berada di daerah terpencil
atau terbelakang berhak mendapatkan pendidikan layanan khusus, akan tetapi kita
menyadari bahwa hal ini belum sepenuhnya tercapai apalagi pendidikan layanan
khusus bagi masyarakat desa terpencil jumlahnya masih sangat terbatas yang
masih belum sepenuhnya bisa menampung masyarakat yang berkeinginan untuk
meningkatkan pendidikannya.
Dengan mencermati APBN 2001 dapat
kita lihat bahwa kegiatan pokok tahunan pemerintah dalam meningkatkan pendidkan
adalah pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, pembanguan sarana dan
prasarana pendidikan, dan adanya pendidikan alternatif.
Kita mengetahui bahwa alokasi dana
pendidikan yang telah dicanangkan pemerintah kurang dari memadai meskipun
alokasi dana rutin pemerintah untuk pendidikan adalah yang tertinggi
dibandingkan sektor yang lainnya. Alokasi dana untuk kependidikan bukanlah
menjadi pokok permasalahan yang mendasar untuk pengimplementasian upaya
memberikan pelayanan pendidikan guna membrantas jumlah anak putus sekolah di
daerah terpencil. Hal yang terpenting yang harus di rencanakan adalah bagaimana
mengupayakan alokasi dana yang minimal untuk bisa mendukung pelaksanaan program
kerja yang maksimal. Dalam hal ini program kerja yang dimaksud adalah upaya
pelayanan pendidikan untuk anak putus sekolah di daerah terpencil sehingga
terwujudnya pemerataan pendidikan.
sSelain berbicara masalah alokasi dana untuk pendidikan, kita
sebagai warga negara seharusnya tidak hanya bisa berkomentar dan berpangku tangan menyaksikan pemerintah dengan
program pendidikannya. Tetapi sekarang bagaimana masyarakat juga berusaha untuk
memunculkan ide-ide kreatif yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga dapat
mengurangi permasalahan bangsa kita ini terutama masalah kurangnya pemerataan
pendidikan, khususnya phenomena yang terjadi di lingkup dunia pendidikan kita
dimana pendidikan bagi anak-anak yang mengecam pendidikan baik itu pendidikan
formal atau nonformal di daerah perkotaan terus melaju dengan berbagai
terobosan pendidikan multimedia yang beragam berkembang dengan pesatnya
sedangkan bagaimana nasib generasi muda putus sekolah yang hidupnya jauh dari
pusat sarana dan prasarana pendidikan?.
Mengingat situasi pemenuhan pelayanan pemerataan pendidikan sepanjang
tahun masih jauh dari harapan masyarakat
yang notabene berharap banyak terhadap sistem pemerintahan yang baru, meskipun
buruknya pemenuhan hak atas pendidikan sekarang ini adalah tak lepas dari
tumpukan persoalan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, namun
demikian persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan,
pengurangan siswa putus sekolah, penguatan dan support atas institusi-institusi
pendidikan dasar umum dan khusus untuk anak-anak putus sekolah yang sudah ada dan penanganan akses
pendidikan di wilayah terpencil belum tertanggulangi secara nyata. Kondisi ini
nampak terlihat jelas dalam laporan-laporan media massa yang masih menyoroti
dalam pemberitaan mereka tentang jumlah angka anak tidak sekolah dan anak putus
sekolah dari kalangan penduduk miskin yang terus merangkak naik.
Hasil proyeksi Balitbang Depdiknas memperkirakan murid yang putus
sekolah di seluruh Indonesia selama tahun ajaran 2004-2005 di tingkat SD,
SMP/MTS, SMA/MA mencapai 1.122.742 anak. Angka putus sekolah yang paling tinggi
berada pada tingkat SD yang mencapai 685.967 anak, yang penyebabnya karena
besarnya biaya pendidikan di Indonesia saat ini. Kenyataan itu diperparah
dengan tingginya angka rakyat miskin di Indonesia yang anaknya tidak bersekolah
atau putus sekolah karena tidak ada biaya. Selain itu, hasil penelitian
organisasi buruh internasional (ILO) menyebutkan sekitar 19% dari seluruh anak
berusia sekolah atau di bawah umur 15 tahun tidak lagi bersekolah. Kemudian
data Depdiknas tahun 2004 menyebutkan dari 29,8 juta siswa SD/MI hanya sekitar
82% yang dapat menyelesaikan pendidikannya. Dari 50 juta siswa SD sampai SMA hanya
20-25% yang mampu menyelesaikan sekolahnya, atau hanya sekitar 10-12,5 juta
siswa pada setiap tingkatannya. Faktor
ketiadaan biaya sekolah adalah penyebab yang paling dominan, dan angka buta
huruf di Indonesia kini mencapai 15,5 juta.
Hal
lain yang juga penting untuk dijadikan patokan dalam melihat minimnya pemenuhan
pemerataan pendidikan, adalah belum tersentuhnya akses pendidikan bagi
anak-anak di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil yang selama ini belum
tersentuh pembangunan nasional atau pun daerah. salah
satunya adalah daerah- daerah terpencil di Lombok tengah yaitu di Dusun Sangi, Desa teruwai, Kecamatan
Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Di dusun tersebut terdapat satu unit sekolah
yaitu SDN Sangi yang berdiri pada tanggal 17 Juli tahun 2000. Sebelum berdiri
SDN Sangi berdiri, siswa bersekolah ke SDN Bedus yang jaraknya 5-10 kilometer
dengan kondisi jalan yang sangat buruk. Peranan guru di SDN Sangi sangat
penting dalam membantu meningkatkan pemerataan pendidikan dan mengurangi angka
anak putus sekolah.
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah
disampaikan sebelumnya, akan dibahas rumusan masalah bagaimana peran guru SDN Sangi dalam meningkatkan
pemerataan pendidikan di daerah terpencil untuk anak putus sekolah usia sekolah
dasar .
1.3. Tujuan
dan Manfaat
1.3.1. Tujuan
Tujuan yang diharapkan yaitu membantu
program kerja pemrintah daerah lombok tengah dalam membrantas jumlah anak putus
sekolah.
1.3.2. Manfaat
Sedangkan manfaat yang diinginkan dari
penulisan karya tulis ini yaitu:
1.
Bagi
pemerintah daerah, tulisan ini dapat di jadikan referensi untuk lebih
memperhatikan pendidikan di daerah terpencil.
2.
Bagi
guru daerah terpencil, tulisan ini dapat menjadi acuan bahwa peranan mereka
sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Layanan Pendidikan
Pendidikan nasional yang bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa diselenggarakan secara menyeluruh dan diarahkan pada peningkatan
kualitas serta pemerataan pendidikan. Masyarakat sebagai mitra pemerintah
berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di
semua jenis dan jenjang pendidikan yang diselenggarakna oleh pemerintah terus
dikembangkan secara merata diseluruh tanah air dengan memberikan perhatian
khusus kepada peserta didik yang berasal dari keluarga kurang mampu, penyandang
cacat, serta yang bertempat tinggal di
daerah terpencil (H. D Sudjana, 2006: 147-148).
Dari argumen
tersebut bisa disinyalir bahwa tidak ada alasan pemerintah untuk tidak
menggalakkan pemerataan pendidikan kepada setiap warga negara tampa harus
terhalang oleh berbagi faktor, seperti adanya kesenjangan ekonomi, letak
daerah, dan faktor lainnya, terlebih lagi bila dikaitkan dengan adanya
kesetidak imbangan pelayanan pendidikan bagi masyrakat desa dan perkotaan. Hal
ini di dukung oleh pernyataan yang terlansir dari Asia Newletter,edisi ke-3
bahwa di indonesia“Lebih dari 4 juta anak Indonesia berusia antara 6 sampai 15
tahun putus sekolah. Beberapa anak tidak pernah terdaftar di sekolah sedangkan
yang lainnya putus sekolah Bagaimana pendidikan dapat lebih baik menanggapi
realitas dan tantangan yang dihadapi anak pemuda sekarang ini?”
2.2. Pemerataan
Pendidikan
Di dalam Pembukaan
UUD 1945 pada alinea IV tercantum tujuan negara yang salah satu diantaranya
adalah memajukan kesejahteraan umum. Pengertian yang lebih rinci lagi tentang
tujuan negara tersebut yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai
masyarakat adil dan makmur tersebut negara kita harus membangun.
Membangun dalam
artian tidak hanya membangun dari bentuk fisiknya saja, tetapi membangun secara
keseluruhan yang dikenal dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Namun sayang pembangunan yang ada di Indonesia tak semua adil dan merata.
Kesenjangan ini juga terlihat jelas antara masyarakat yang tinggal di pedesaaan
dengan masyarakat yang tinggal di dareah perkotaan. Dan kesenjangan ini juga
terjadi di daerah perkotaan antara masyarakat yang tinggal di daerah kumuh
dengan masyarakat yang tinggal di daerah elite, apalagi bila di bandingkan
dengan komunitas adat terpencil sangat jauh tertinggal. (Faradella 2007: 1)
Demokratisasi
pendidikan ini mencakup tiga strategi, yaitu: Pertama, pendidikan
harus mampu membuka perluasan dan pemerataan kesempatan kepada setiap warga
negara untuk memperoleh pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan
pendidikan sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan adanya kesempatan
pendidikan dasar sembilan tahun.
Hasil yang dicapai cukup memuaskan yang ditunjukan oleh
menngkatnya APM dan APK. Namun akibat krisis ekonomi dan konflik sosial, angka
partisipasi pendidikan tersebut menjadi menurun. Oleh sebab itu, strategi yang
perlu dilakukan adalah pemantapan pendidikan dasar sembilan tahun, pemberian
bea siswa dengan sasaran strategis, pemberian insentif kepada guru yang
bertugas di daerah terpencil, pemantapan sistem pendidikan terpadu untuk anak
berkelainan, dan peningkatan keterlibatan peran serta masyarakat dalam membantu
pendidikan.
Kedua, pendidikan harus diarahkan pada tercapainya
pendidikan untuk semua (Education for all). Ada kecendrungan bahwa
program pendidikan hanya berorientasi untuk kelompok tertentu, terutama pada
institusi yang diklaim masyarakat sebagai kelompok sekolah “favorit”. Pada
sekolah ini tidak cukup ruang untuk kelompok lain dalam mengakses pendidikan.
Apabila dibiarkan maka kondisi ini dapat berdampak pada perlakuan diskriminatif
terhadap anak bangsa. Demikian pula, pemberlakuan sistem peneriman mahasiswa
baru Ptun yang dilakukan melalui penelusuran minat-bakat dan potensi (PMBP)
berpotensi untuk menyemaikan benih diskriminatif kalau tidak dilakukan secara
transfaran dan berorientasi akademik. Padahal masih banyak peserta didik yang
memilki kemampuan akademis yang belum tersntuh oleh lembaga pendidikan unggul.
Unutk memecahkan masalah ini perlu diakomodasi ide-ide “pendidikan Untuk
Semua”, ayng antara lain membuka kesempatan kepada semua siswa dimana pun dan
kapan pun.
Ketiga, pendidikan harus membuka peluang akan
hak-hak masyarakat termasuk hak pendidikan. Selama ini ada anggapan bahwa
masyarakat khususnya orang tua masih kurang peduli terhadap pendidikan anaknya.
Sikap demikian tidak dapat dibiarkan secara terus menerus karena dapat
berakibat terhadap penurunan martabat anak, masyarakat bahkan pemerintah. Untuk
itu, di masa mendatang pengakuan hak pendidikan bagi semua warga negara perlu
disosialisasikan kepada publik.
2.3. Layanan Pemerataan Pendidikan
Amatlah besar pengaruh pendidikan
demi kelangsungan hidup suatu bangsa, maka pelaksanaannya perlu diratakan dalam
arti penyebaran pelayanan pendidikan harus merata terlepas dari keberadaan
wilayah tidak menjadi permaslahan Dalam segi pemerataan, kesempatan
memperoleh pendidikan bai anak-anak Indonesia memang cukup meluas. Tetapi
pengadaan sekolah masih terbatas di kota-kota saja, sehingga anak-anak yang
jauh dari kota masih belum dapat menikmati pendidikan. (Drs. Abu Ahmadi, Dra.
Nur Uhbiyati, 2001: 260).
Terkait dengan layanan pemerataan pendidikan tidak lepas
dari sarana, dan parasarana yang dapat mununjang keberhasialan sebuah uapaya.
Untuk wilayah perkotaan telah tersedia bangunan gedung sekolah, media belajar
dan bentuk fasilitas lainnya yang mempermudah jalannya proses belajar mengajar.
Gedung-gedung sekolah, sebagian besar tenaga pendidik berkualitas, dan biaya
pendidikan lebih banyak digunkan untuk pelayanan pendidikan di perkotaan.
Kurangnya relevansi pendidikan dengan pembangunan ditandai oleh kurikulum,
termasuk cara pembelajaran dalam pendidikan formal, yang kurang berkaitan
dengan kebutuhan, potensi pengembangan, dan lingkungan masyarakat pedesaan. (H. D Sudjana, 2006: 147-148)
2.4. Peranan Guru dalam Pendidikan
Kita tidak bisa memungkiri bahwa guru mempunyai peran yang sangat
penting dalam pendidikan. Seperti istilah “guru kencing berdiri murid kencing
berlari”. Begitulah bagaimana pentingnya peranan guru dalam pendidikan. Setiap
gerak-gerik guru menjai model bagi siswa. Ketika siswa belajar, guru pun
senantiasa belajar untuk selalu menigkatkan kualitas mengajarnya. Menurut
sebuah tulisan dalam situs ictjabar, ada 7 peran guru dalam pendidikan yakni: Pertama
guru sebagai pendidik (nurturer). Peranan ini berkaitan dengan tugas guru
sebagi supporter atau orang yang memberi dorongan kepada siswa, kemudian guru
melakukan pengawasan dan pembinaan (supervisor) dalm perkembangan peserta didik
serta tugas untuk mendisiplinkan siswa agar senantiasa mematuhi peraturan
sekolah. Kedua, guru sebagai model. Seperti contoh yang telah ditulis
sebelumnya yakni guru kencing berdiri murid kencing berlari maka tugas guru
adalah menjadi model atau contoh bagi siswanya. Oleh karena itu sikap dan
tingkah laku guru hendaknya mencerminkan norma-norma yang ada dalam masyarakat
serta sesuai dengan nilai-nilai pancasila.Ketiga, guru sebagai pengajar
dan pembimbing. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa peran pokok guru
yakni sebagai pembimbing, memberikan pengetahuan, mengasah keterampilan dan
menguji pengalaman siswa bukan hanya di dalma fungsi sekolah tapi juga fungsi
di luar sekolah. Selain pengetauhan guru juga berperan penting dalam membentuk
pribadi siswa dan menanamkan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan
negaranya. Keempat, peran guru
sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru
diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan
kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi
maupun pertemuan insidental. Kelima, peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat.
Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala
bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada
bidang-bidang dikuasainya.
1.
Guru sebagai administrator.
Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga
sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu
seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur.
2.
Peran guru sebagai pelajar (Learner)
Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan
agar pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman.
Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada
pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas (http://www.ictjabar.org)
BAB III
METODE PENULISAN
Metode
penulisan karya tulis ini menggunakan metode kepustakaan. Penulis membahas
masalah-masalah yang relevan dengan telaah pustaka. Telaah pustaka diperoleh
dari buku-buku, majalah, koran, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan
topik yang dibahas.
Sedangkan
analisis permasalahan dilakukan dengan menghubungkan antara informasi yang
didapat baik melalui diskusi dengan pihak yang berkompeten, media cetak ataupun
elektronik dengan telaah pustaka. Hal ini dilakukan untuk mencari solusi untuk
menjawab rumusan masalah yang disampaikan.
Kesimpulan diperoleh berdasarkan
informasi-informasi yang sesuai dengan telaah pustaka dan gagasan kretif dari
penulis yang merupakan inti dari karya tulis ini. Sedangkan saran-saran
ditujukan khusus kepada pihak-pihak yang berkompetent dengan tema yang sedang
dibahas dan khalayak umum pada umumnya.
Saran-saran ini ditulis agar pihak-pihak yang
terkait memperhatikan dan mempertimbangkan untuk selanjutnya merumuskan solusi
yang terbaik. Solusi yang yang terbaik merupakan harapan utama guna menghasilkan manusia
Indonesia yang siap bersaing dan berkompetesi di masa yang akan datang.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Dalam
upaya pemenuhan hak atas pendidikan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan (UU Sisdiknas) merupakan salah satu pendukung utama. UU ini mengatur
mengenai dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan hak dan kewajiban warga negara,
orang tua, masyarakat, dan pemerintah; peserta didik; wajib belajar; standar
nasional pendidikan; kurikulum; pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan
prasarana pendidikan; pendanaan pendidikan; serta ketentuan pidana.
Secara
substansi, UU Sisdiknas mengatur bahwa pendidikan bukan merupakan tanggung
jawab pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama termasuk masyarakat.
Baik itu dari penyelenggaraan, memfasilitasi, sampai pendanaan. Dari
penyelenggaraan, dengan adanya otonomi daerah, pendidikan diselenggarakan juga
oleh pemerintah daerah bahkan kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari
pengaturan UU Sisdiknas yang membagi tanggung jawab pemerintah kepada
masyarakat untuk menyelenggarakan dan mendanai pendidikan; (Pasal 6 ayat 255;
pasal 7 ayat 2). Bahkan UU Sisdiknas tersebut mewajibkan masyarakat memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 9).
Pendanaan pendidikan tanggung jawabnya dipikul
secara bersama-sama antara pemerintah,pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal
46 ayat (1). Sementara Pasal 47 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, dengan desentralisasi pembiayaan
pendidikan dari pusat ke daerah, pemerintah pusat tidak dapat memastikan
kelayakan anggaran-anggaran yang disediakan daerah untuk pendidikan dari total
APBD.
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa
negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari
APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
Tetapi realisasi dari kewajiban ini tidak dilaksanakan secara langsung.
Berdasarkan kesepakatan Pemerintah dengan DPR pada tanggal 26 Januari 2004,
realisasinya akan dilakukan secara bertahap Sampai dengan 2009, anggaran
pendidikan akan ditingkatkan setiap tahun hingga mencapai 20%. Berikut adalah tabel anggaran pemerintah untuk dana pendidikan:
No
|
Tahun
|
Jumlah nominal
|
persentase
|
1
|
2004
|
16,8 triliun
|
16,6 %
|
2
|
2005
|
24,9 triliun
|
9,3 %
|
3
|
2006
|
33,8 triliun
|
12 %
|
4
|
2007
|
43,4 triliun
|
14,7%
|
5
|
2008
|
54,0 triliun
|
17,4 %
|
Sumber: (ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat), 2005: 19-25).
Permasalah pemerintah menegenai pendidkan
tidak hanya di hadapkan pada tidak terlaksananya pengoptimalan penggunaan dana
pendidikan yang seharusnya, tetapi juga pemerintah di hadapkan pada beberapa
permasalahan lainnya.
Contoh lain yang di jadikan permasalahan dalam pendidikan
di indonesia adalah belum adanya
pemerataan pendidikan khususnya pelayanan pendidikan bagi anak putus sekolah
usia sekolah dasar yang hidupnya di daerah pedesaan yang terpencil.
SDN Sangi merupakan sekolah terpencil yang berada di
dusun Sangi, Desa Teruwai, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. SDN Sangi
Berdiri pada tanggal 17 Juli tahun 2000. Sebelum SDN sangi berdiri, siswa
bersekolah di SDN Bedus yang jaraknya 5-10 Kilometer dari rumah siswa. Sekolah
ini mulanya dibangun secara swadaya oleh masyarakat mulai dari pengadaan tanah
sampai pendirian bangunan sekolah. Pada awalnya sekolah di bangun sederhana
dengan lantai tanah, tiang bambu,pagar bedek ( anyaman dari bambu ), dan atap
ilalang.
Angka siswa putus sekolah di wilayah sumber murid SDN
Sangi sangat tinggi yaitu mencapai 80 %. Artinya, dari 100 orang siswa yang
sekolah sampai tamat SD hanya 20 orang. Pada awal tahun 2000 masyarakat yang
menyelesaikan pendidikan sampai SMA hanya 1 orang dan yang menyelesaikan
sekolah sampai SMP hanya 17 orang. Melihat kondisi tersebut, dibutuhkan usaha
yang maksimal dari para guru yang ada di SDN sangi.Usaha- usaha yang dilakukan
oleh guru SDN Sangi untuk menekan angka putus sekolah antara lain :
1.
Mengunjungi
rumah warga pada sore dan malam hari untuk memahamkan pentingnya pendidikan
bagi masa depan anak-anak mereka. hal tersebut dilakukan karena faktor kurang
pehaman dari orang tua murid karena tidak berpendidikan. anak-anak mereka lebih
disuruh bekerja di sawah daripada belajar di sekolah.
2.
para
guru mengadakan rapat-rapat dengan wali murid secara berkala di sekolah maupun
di masjid atau di mushala.
Dengan usaha-usaha tersebut, sejak
tahun 2003 angka putus sekolah untuk tingkat SD di wilayah SDN Sangi menjadi 0
%.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.I KESIMPULAN
Pemerataan pendidikan sangat penting untuk meningkatkan
kualitas pendidikan ndi suatu daerah. kurangnya pemerataan pendidikan dapat
menyebabkan tingginya angka putus sekolah terutama di desa terpencil. SDN Sangi
merupakan sekolah yang berada di desa terpencil. Guru di SDN sangi sangat
berperan penting dalam pemerataan pendidikan dan mengurangi angka putus
sekolah. Usaha- usaha yang dilakukan oleh guru SDN Sangi untuk menekan angka
putus sekolah antara lain :
3.
Mengunjungi
rumah warga pada sore dan malam hari untuk memahamkan pentingnya pendidikan
bagi masa depan anak-anak mereka. hal tersebut dilakukan karena faktor kurang
pehaman dari orang tua murid karena tidak berpendidikan. anak-anak mereka lebih
disuruh bekerja di sawah daripada belajar di sekolah.
4.
para
guru mengadakan rapat-rapat dengan wali murid secara berkala di sekolah maupun
di masjid atau di mushala.
Dengan usaha-usaha tersebut, sejak
tahun 2003 angka putus sekolah untuk tingkat SD di wilayah SDN Sangi menjadi 0
%.
5.2 SARAN
Bagi
pemerintah daerah agar memperhatikan guru di desa terpencil karena mereka
sangat berperan dalam pemerataan pendidikan dan mengurangi angka putus sekol
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu H. 2004. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi,
Abu dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Joesoef, Soelaiman dan Slamet Santoso. 1979. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya:
Usaha Nasional
Newsletter, Asia. 2006. Tangapan Sektor Pendidikan. Asia Newsletter.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma
Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media.
Tilaar,
H. A. R. 2002. MembenahiPendidikan
Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.