Rabu, 22 Mei 2013

segenggam idealisme



Entah siapa lagi yang harus kupercaya. Semua terasa begitu palsu. Semua terasa begitu semu. Dan kini, aku merasa benar-benar sendiri. Tak ada siapapun bersamaku. Idealisme...Hanya kata itu, satu kata yang kini membuatku terlempar begitu jauh. Terbuang dari orang-orang yang selama belasan tahun kuanggap lebih dari saudara. Tak ada lagi senyuman, tak ada lagi sapaan lembut. Semua hilang bersama datangnya identitas baru. Penghianat!. Begitulah mata mereka memanggilku kini.
Malam ini aku larut dalam sujud panjangku. Tangisku tak terbendung. Airmata yang sekuat tenaga kutahan selama ini akhirnya menemukan jalan keluarnya. Aku tercekat dalam do’a yang memaksa.
“Ya Allah, Engkau harus sadarkan mereka. Engkau harus hentikan mereka. Engkau tidak boleh biarkan mereka terjerumus begitu jauh. Hamba mohon ya Allah.”  Gigiku sampai berbunyi menahan tangis. Ada amarah yang ingin kukeluarkan. Emosi yang tak tau harus kutumpahkan kepada siapa. Aku tak tau, begitu banyak orang. Begitu kuat mereka dengan alasan demi alasan. Begitu kompak mereka menutupi semua atas nama ketaatan. Sementara aku sendiri.
****
Ketika fajar mulai menyingsing, aku buka jendela kamarku. Kutatap bintang yang masih berkelip sambil menikmati aroma melati.
“ kaktus...bisa ke rumah mbak nanti jam 9?,” ada sms dari mbak Eka.
Aku tertegun sejenak, aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak ingin bertemu jika hanya untuk dimarahi, jika hanya untuk mendengarkan alasan pembenaran atas apa yang mereka lakukan. Sama sekali tidak, jika hanya untuk dipaksa taat pada sesuatu yang  kuanggap dan kuyakini sebagai sebuah kesalahan. Tapi...mungkin aku harus pergi, setidaknya untuk menyatakan pengunduran diriku dari organisasi.
“Ok mbak..nanti aku ke rumah mbak.” Aku sudah siap dengan semua yang akan aku dengar nanti.
*****
Aku mengayuh sepeda ditemani mentari yang mulai meninggi. Ada begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku, semua berlomba untuk mencari jawaban.
“Haruskah aku keluar dari organisasi dengan cara seperti ini?. Tidak bisakah mereka melihat dengan lebih jernih?. Apakah orang yang idealis sulit menemukan tempat di zaman ini?.” Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah mbak Eka. Aku turun dari sepeda dan melangkah ke depan pintu. Inilah langkah terberatku, padahal setiap pekan aku datang ke rumah ini selama tiga tahun. Tiga tahun yang sangat berharga, tiga tahun dari sebelas tahun kebersamaanku di organisasi ini.
“Assalamu’alaikum.” Aku memikirkan kata pertama apa yang akan kukatakan nanti.
“Wa’alaikumussalam,” terdengar jawaban dari dalam rumah dan pintupun dibuka.
“ Silahkan masuk dek.Dengan senyum yang terlihat berat beliau menyalamiku.
Kamipun duduk di ruangan yang biasanya kami pakai pertemuan setiap pekannya. Ruangan ini seakan sudah seperti ada di rumahku sendiri. Untuk beberapa saat kami terdiam, seolah olah sedang menyelami perasaan masing-masing. Dan aku hanya tertunduk menatap lantai. Lantai yang tiba-tiba terasa begitu dingin, sedingin perempuan yang ada di hadapanku kini.
“ Bagaimana kabarnya dek?”, mbak Eka mulai membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah baik mbak.” Bibirku terasa sangat berat untuk digerakkan.
“ Maaf dek, mbak memanggil adek karena mbak mau mengklarifikasi terkait beberapa statement adek  terhadap organisasi yang sama-sama kita cintai ini.” Mbak eka terdiam sejenak. Dan akupun hanya tertunduk, masih merasakan lantai yang kini tidak hanya dingin tapi benar-benar  terasa membekukan aliran darahku.
“ Apa benar adek mengatakan kalau para penasehat organisasi ini mengajarkan kita menjadi koruptor?.” Mbak Eka menatapku dengan tatapan yang begitu dalam. Tatapan yang menusuk semua perasaanku.
Aku terdiam sejenak. Suaraku sangat berat untuk bisa keluar. “ iya mbak”. Suaraku pelan.
“Astagfirullah dek,,,adek kan tau organisasi kita ini adalah organisasi dakwah. Apapun yang kita lakukan hanya untuk dakwah dan kebaikan bukan untuk pribadi”. Suara mbak Eka mulai meninggi.
“Iya mbak, aku  tau hal itu. Tapi kita sama saja seperti Robin hood yang mencuri dan membagikan hasil curiannya kepada orang miskin. Tujuan tidak membenarkan cara. Dan perlu kita fahami bersama bahwa yang namanya korupsi bukan hanya memperkaya diri sendiri tapi juga memperkaya orang lain atau golongan. Kita telah melakukan penyalahgunaan keuangan negara”.
Kami terdiam. Aku tau mbak Eka sangat marah detik ini. Seolah-olah dia sedang memberikan stempel di keningku. Stempel besar dengan tulisan PENGHIANAT!.
“Aku mohon maaf mbak jika tidak bisa taat untuk masalah ini, aku lebih rela kehilangan seluruh hidupku daripada kehilangan idealisme. Terimakasih karena mbak dan organisasi ini sudah membinaku selama sebelas tahun. Terimakasih karena sudah mengajarkan banyak hal. Organisasi inilah yang mengajarkanku menjadi kritis, mengajarkanku untuk idealis, serta mengajarkanku untuk tidak menghianati hak rakyat.” Dan airmataku mulai meleleh. Aku tidak tau harus berkata apalagi.
“Baiklah dek, kami sangat mencintai adek dengan segala potensi yang adek miliki. Tapi kami tidak bisa mempertahankan adek di organisasi ini lagi.” Mbak eka menatapku dalam, matanya berkaca-kaca. Dia memberikan sebuah amplop. Surat pemecatan. Bukan surat itu yang kutakutkan tapi akan ada begitu banyak orang yang akan meninggalkanku setelah surat itu dibacakan kepada semua anggota organisasi. Mereka semua akan menjauh bahkan membenciku. Duniaku sejenak terasa berhenti berputar, angin seolah tak berhembus. Hatiku  terasa hening.
Mbak eka memelukku erat. Aku tau kalau dia sangat mencintaiku.
“Terimakasih mbak, tanpa dipecatpun aku memang akan mengundurkan diri. Semoga Allah selalu melindungi mbak dan semua orang di organisasi ini. Aku mencintai mbak karena Allah.”
******
Perjalanan pulang terasa begitu melelahkan. Airmataku membuncah. Sesampai di kost aku lunglai. Meringkuk di pojok. Lirih kuberucap pada tembok kamarku, “haruskah orang yang idealis selalu sendirian?. Selalu kesepian?. Selalu diasingkan?. Tapi harus ada yang berkorban demi sebuah kebenaran.”
Ingtanku kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat itu pak Agus memanggilku untuk datang ke kantor organisasi. Dengan penuh semangat kukayuh sepedaku. Aku sangat senang karena aku akan mendapat tugas baru. Dan benar saja, sesampainya di kantor aku di sambut dengan senyum ceria dari pak Agus.
“Kaktus, bagaimana kabarnya?.”
“Alhamdulillah, baik pak.” Aku menjawabnya dengan senyum.
Setelah aku duduk, pak Agus menyodorkan beberapa lembar kertas yang harus kutandatangani. Aku bingung dan hanya terdiam.
“ Kaktus jangan bingung, saya mengangkatmu menjadi bendahara di LSM yang saya buat. Saya butuh tanda tanganmu agar kita bisa dapat dana dari pemerintah.”
Aku masih terdiam. Belum sedikitpun aku memegang lembaran kertas-kertas itu. Aku memandang pak Agus sebentar dan akupun tertunduk kembali. Dan pak Agus seakan tau kalau aku masih butuh penjelasan.
“Baiklah, akan saya jelaskan. LSM kita ini bergerak di bidang relawan dan pertolongan korban bencana. Kita butuh LSM ini untuk melebarkan sayap organisasi kita. Dan tahun ini, kita harus bisa mengakses 100 juta dari dana bansos.” Pak Agus tersenyum.
Tanpa berfikir panjang lagi, aku mengambil semua kertas-kertas itu dan menandatanganinya. Aku percaya pada pak Agus, dia adalah pemimpin di organisasi kami.
*****
Pagi itu, aku baru selesai sholat subuh. Tiba-tiba Hp-ku berdering. Ada panggilan dari pak Agus. Dalam hati aku bertanya-tanya “ada apa ya?. Tumben pak Agus telpon pagi-pagi begini.”
“ Assalamu’alaikum pak.”
“Wa’alaikumussalam, maaf pagi-pagi sudah mengganggu.”
“ Tidak apa-apa pak, ada apa?.”
“ Begini, minta tolong wakili saya untuk datang ke kantor partai X hari ini jam 9. Saya tidak bisa hadir karena ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan. Nanti kalau di sana diminta membuat kesepakatan, disepakati saja. Terimakasih ya.”
“Hmmm, kantor partai?.” Aku bergumam.
“ Iya, sekali lagi terima kasih. Maaf ya, saya sedang ada urusan. Assalamu’alaikum”. Tut...tut.tut..Hp dimatikan.
Sekali lagi aku sangat bingung. Pertanyaan-pertanyaan mulai berdatangan di benakku. “Kenapa saya diminta ke kantor partai X?. Kesepakatan apa yang dimaksud oleh pak Agus?.”
Jam 9 tepat aku sudah berada di kantor partai X. Di ruangan pleno telah hadir beberapa orang yang kukenal. Beberapa teman dari LSM bahkan ada beberapa dari gerakan mahasiswa.
“ Inilah politik”, lirih kuberucap pada diriku sendiri. Hari itu kita diberikan pelatihan membuat LPJ yang sesuai dengan aturan. Bagaimana cara meyiasati agar LPJ kita tidak bermasalah ketika diaudit oleh BPK. Bagaimana trik kita ketika membuat LPJ fiktif. Semua terasa begitu memuakkan. Tanpa berfikir panjang, aku kabur dari acara itu padahal moderator mengatakan bahwa setelah break makan akan ada kesepakatan dengan partai X. Aku tidak bisa diam di tempat itu. Terlalu banyak hal yang bertentangan dengan nuraniku. Aku muak mengetahui bahwa beberapa gerakan mahasiswa adalah kaki tangan partai X. Aku tak habis fikir dengan semua yang kulihat dan kudengarkan.
“Lantas siapa yang benar-benar independen di negeri ini jika semua di kooptasi oleh partai politik?. Lantas siapa yang bisa diharapkan oleh rakyat jelata jika semuanya bisa dibungkam dengan puluhan bahkan ratusan juta dana bansos?.” Sepanjang jalan pulang aku hanya menggerutu dan menyesali keadaan.
“Bagaimana pertemuannya?”, ada sms dari pak Agus.
“Maaf pak, aku kabur dari pertemuan itu. Aku belum tau kesepakatan apa yang akan dibuat setelah makan.”
“ OK, biar saya yang kesana nanti.”
Semua sama saja.   Aku benar-benar terjebak dalam permainan politik kelas atas. Aku sebenarnya sangat penasaran dengan kesepakatan apa yang akan dibuat.
*****
Setelah hari itu, tak ada kabar dari pak Agus. Akupun diam saja, tidak ingin bertanya lebih banyak. Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan semua ini.
Sebulan kemudian, pak agus menelponku. Lima kali Hp-ku berdering. Aku sangat malas untuk mengangkatnya.
“Kaktus, tolong ke kantor sekarang. Penting!”. Sms dari pak Agus yang sama sekali tak aku gubris. Sebenarnya aku bimbang, aku tidak pernah membantah perintah pemiminku kecuali hari ini. Aku merasa menjadi pembangkang. Tapi, aku tidak bisa memaksa diriku melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Menjadi bendahara sebuah LSM yang dikooptasi oleh sebuah parpol. Ahh...itu seperti mimpi, mimpi buruk yang mulai menghancurkan idealismeku. Keinginan untuk berjuang secara independen. Tanpa harus menghamba pada partai politik. Apalagi jika mengingat bahwa independennya kami bisa dibayar hanya dengan 100 juta dana bansos. Aku benci.
Keesokan harinya, pak Agus kembali menelponku. Lima kali, tak kuangkat. Tiba-tiba sms masuk ke Hp-ku.
“ Saya minta kaktus ke kantor, saya butuh tanda tangannya untuk mencairkan dana ke bank. Kalau kaktus tidak datang karena sibuk, saya akan cari ke kost atau dimanapun kaktus berada.”
Setelah berfikir beberapa saat, akupun membalas sms itu. “Iya pak, aku akan kesana sekarang”. Aku ingin segera menyelesaikan semua ini. Dengan langkah yang berat aku mengayuh sepeda ke kantor organisasi. Kantor yang sangat kucintai “Lembaga Advokasi Untuk Rakyat”. Sebuah organisasi inti yang membawahi beberapa LSM dan beberapa organisasi gerakan mahasiswa. Organisasi yang telah membesarkanku menjadi perempuan yang kritis dan memikirkan nasib rakyat jelata. Organisasi yang baru-baru ini kuketahui sebagai organisasi yang dikooptasi oleh parpol. Partai X.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Silahkan masuk.” Pak Agus menyambutku dengan senyuman khasnya. Dan aku hanya tersenyum.
“ Tolong tanda tangan dan cairkan uangnya ke bank.”
Tanpa sepatah katapun aku tanda tangan dan mengambil buku tabungan. Aku pergi mencairkan uang ke bank. Dalam hati aku meyakinkan diri, setelah ini aku tidak mau jadi bendahara lagi. Lebih baik aku di kebijakan publik, pergi hearing. Pergi advokasi, investigasi, dan demonstrasi. Aku tidak mau tau lagi masalah keuangan.
100 juta adalah uang yang sangat banyak bagiku. Untuk pertama kalinya aku membawa uang sebanyak itu seumur hidupku. Sekembalinya ke kantor, kuserahkan plastik berisi uang itu kepada pak Agus.
“Maaf pak, aku pamit pulang.” Aku tidak ingin berlama-lama.
“Sekalian minta tolong, antarkan 25 juta ke kantor partai X. Bendahara partai X sedang menunggu uang dari kita.” Pak Agus menyodorkan plastik uang berisi 25 juta.
Kali ini aku tidak bisa diam saja. Mungkin aku bisa bertahan di organisasi dengan berfikir mungkin ada kerjasama yang positif antara organisasi dengan partai X. Tapi kini aku tau kesepakatan yang dimaksud tempo hari. Ini korupsi. Ini penyelewengan uang negara. Ini salah.
“ Maaf pak, aku tidak bisa. Ini salah pak, ini sama saja anda mengajarkan aku untuk korupsi. Ini kebohongan publik.” Suaraku agak tinggi.
“ Kita tidak akan bisa mendapatkan dana ini tanpa bantuan parpol. Terlalu sulit untuk bisa mengakses dana tanpa bantuan orang penting. Kita terpaksa menyepakati kesepakatan ini karena kita tidak punya dana. Iuran anggota organisasi tidak akan pernah cukup untuk membiayai organisasi.”
“Astagfirullahaladzim....Mohon maaf pak, aku tidak bisa. Aku tidak mau menjual idealisme hanya demi dana bansos. Aku tidak mau mengkhianati rakyat.”
Pak Agus terdiam sejenak. Akupun terpaku. Tak ada yang bicara.
“ Assalmu’alaikum pak.” Akupun berlalu.
Dua hari kemudian, tulisanku masuk kolom opini sebuah koran lokal. Darisanalah organisasi gempar. Audit dari BPK tidak menghasilkan apa-apa. Dan aku tau, mereka terlalu pintar untuk membuat LPJ fiktif. Itu sudah pasti.
******
Dan kini aku benar-benar sendiri. Aku menyeka airmataku. Aku masih meringkuk di pojok kamar bersama amplop surat pemecatan resmi dari organisasi. Aku sangat sedih, tapi aku senang karena aku bisa terasing karena kebenaran. “ Sistim yang korup bisa mengubah orang baik menjadi koruptor, sedangkan sistim yang bersih akan memaksa koruptor untuk menjadi baik”. Ada senyum yang tercipta dari sudut bibirku. Lirih kuucap kalimat demi kalimat puisinya Soe hok gie.
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi
Dan bercita-cita Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam perjuangan ini?


2 komentar

Masih ada file tulisan yang kakak bilang dimuat di koran lokal? Want to read it