Entah
siapa lagi yang harus kupercaya. Semua terasa begitu palsu. Semua terasa begitu
semu. Dan kini, aku merasa benar-benar sendiri. Tak ada siapapun bersamaku.
Idealisme...Hanya kata itu, satu kata yang kini membuatku terlempar begitu
jauh. Terbuang dari orang-orang yang selama belasan tahun kuanggap lebih dari saudara.
Tak ada lagi senyuman, tak ada lagi sapaan lembut. Semua hilang bersama
datangnya identitas baru. Penghianat!. Begitulah mata mereka memanggilku kini.
Malam
ini aku larut dalam sujud panjangku. Tangisku tak terbendung. Airmata yang
sekuat tenaga kutahan selama ini akhirnya menemukan jalan keluarnya. Aku
tercekat dalam do’a yang memaksa.
“Ya Allah, Engkau harus
sadarkan mereka. Engkau harus hentikan mereka. Engkau tidak boleh biarkan
mereka terjerumus begitu jauh. Hamba mohon ya Allah.” Gigiku sampai berbunyi menahan tangis. Ada
amarah yang ingin kukeluarkan. Emosi yang tak tau harus kutumpahkan kepada
siapa. Aku tak tau, begitu banyak orang. Begitu kuat mereka dengan alasan demi
alasan. Begitu kompak mereka menutupi semua atas nama ketaatan. Sementara aku
sendiri.
****
Ketika
fajar mulai menyingsing, aku buka jendela kamarku. Kutatap bintang yang masih
berkelip sambil menikmati aroma melati.
“ kaktus...bisa ke
rumah mbak nanti jam 9?,” ada sms dari mbak Eka.
Aku tertegun sejenak,
aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak ingin bertemu jika hanya untuk
dimarahi, jika hanya untuk mendengarkan alasan pembenaran atas apa yang mereka
lakukan. Sama sekali tidak, jika hanya untuk dipaksa taat pada sesuatu
yang kuanggap dan kuyakini sebagai
sebuah kesalahan. Tapi...mungkin aku harus pergi, setidaknya untuk menyatakan
pengunduran diriku dari organisasi.
“Ok mbak..nanti aku ke
rumah mbak.” Aku sudah siap dengan semua yang akan aku dengar nanti.
*****
Aku
mengayuh sepeda ditemani mentari yang mulai meninggi. Ada begitu banyak
pertanyaan berkecamuk dalam benakku, semua berlomba untuk mencari jawaban.
“Haruskah aku keluar
dari organisasi dengan cara seperti ini?. Tidak bisakah mereka melihat dengan
lebih jernih?. Apakah orang yang idealis sulit menemukan tempat di zaman ini?.”
Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah mbak Eka. Aku turun dari sepeda
dan melangkah ke depan pintu. Inilah langkah terberatku, padahal setiap pekan
aku datang ke rumah ini selama tiga tahun. Tiga tahun yang sangat berharga,
tiga tahun dari sebelas tahun kebersamaanku di organisasi ini.
“Assalamu’alaikum.” Aku
memikirkan kata pertama apa yang akan kukatakan nanti.
“Wa’alaikumussalam,”
terdengar jawaban dari dalam rumah dan pintupun dibuka.
“ Silahkan masuk dek.” Dengan senyum yang terlihat berat
beliau menyalamiku.
Kamipun duduk di
ruangan yang biasanya kami pakai pertemuan setiap pekannya. Ruangan ini seakan
sudah seperti ada di rumahku sendiri. Untuk beberapa saat kami terdiam, seolah
olah sedang menyelami perasaan masing-masing. Dan aku hanya tertunduk menatap
lantai. Lantai yang tiba-tiba terasa begitu dingin, sedingin perempuan yang ada
di hadapanku kini.
“ Bagaimana kabarnya
dek?”, mbak Eka mulai membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah baik
mbak.” Bibirku terasa sangat berat untuk digerakkan.
“ Maaf dek, mbak
memanggil adek karena mbak mau mengklarifikasi terkait beberapa statement adek terhadap organisasi yang sama-sama kita cintai
ini.” Mbak eka terdiam sejenak. Dan akupun hanya tertunduk, masih merasakan
lantai yang kini tidak hanya dingin tapi benar-benar terasa membekukan aliran darahku.
“ Apa benar adek
mengatakan kalau para penasehat organisasi ini mengajarkan kita menjadi
koruptor?.” Mbak Eka menatapku dengan tatapan yang begitu dalam. Tatapan yang
menusuk semua perasaanku.
Aku terdiam sejenak.
Suaraku sangat berat untuk bisa keluar. “ iya mbak”. Suaraku pelan.
“Astagfirullah
dek,,,adek kan tau organisasi kita ini adalah organisasi dakwah. Apapun yang
kita lakukan hanya untuk dakwah dan kebaikan bukan untuk pribadi”. Suara mbak
Eka mulai meninggi.
“Iya mbak, aku tau hal itu. Tapi kita sama saja seperti Robin
hood yang mencuri dan membagikan hasil curiannya kepada orang miskin. Tujuan
tidak membenarkan cara. Dan perlu kita fahami bersama bahwa yang namanya
korupsi bukan hanya memperkaya diri sendiri tapi juga memperkaya orang lain
atau golongan. Kita telah melakukan penyalahgunaan keuangan negara”.
Kami
terdiam. Aku tau mbak Eka sangat marah detik ini. Seolah-olah dia sedang
memberikan stempel di keningku. Stempel besar dengan tulisan PENGHIANAT!.
“Aku mohon maaf mbak
jika tidak bisa taat untuk masalah ini, aku lebih rela kehilangan seluruh
hidupku daripada kehilangan idealisme. Terimakasih karena mbak dan organisasi
ini sudah membinaku selama sebelas tahun. Terimakasih karena sudah mengajarkan
banyak hal. Organisasi inilah yang mengajarkanku menjadi kritis, mengajarkanku
untuk idealis, serta mengajarkanku untuk tidak menghianati hak rakyat.” Dan
airmataku mulai meleleh. Aku tidak tau harus berkata apalagi.
“Baiklah dek, kami
sangat mencintai adek dengan segala potensi yang adek miliki. Tapi kami tidak
bisa mempertahankan adek di organisasi ini lagi.” Mbak eka menatapku dalam,
matanya berkaca-kaca. Dia memberikan sebuah amplop. Surat pemecatan. Bukan
surat itu yang kutakutkan tapi akan ada begitu banyak orang yang akan
meninggalkanku setelah surat itu dibacakan kepada semua anggota organisasi.
Mereka semua akan menjauh bahkan membenciku. Duniaku sejenak terasa berhenti
berputar, angin seolah tak berhembus. Hatiku
terasa hening.
Mbak eka memelukku
erat. Aku tau kalau dia sangat mencintaiku.
“Terimakasih mbak,
tanpa dipecatpun aku memang akan mengundurkan diri. Semoga Allah selalu
melindungi mbak dan semua orang di organisasi ini. Aku mencintai mbak karena
Allah.”
******
Perjalanan
pulang terasa begitu melelahkan. Airmataku membuncah. Sesampai di kost aku
lunglai. Meringkuk di pojok. Lirih kuberucap pada tembok kamarku, “haruskah
orang yang idealis selalu sendirian?. Selalu kesepian?. Selalu diasingkan?.
Tapi harus ada yang berkorban demi sebuah kebenaran.”
Ingtanku
kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat itu pak Agus memanggilku untuk
datang ke kantor organisasi. Dengan penuh semangat kukayuh sepedaku. Aku sangat
senang karena aku akan mendapat tugas baru. Dan benar saja, sesampainya di
kantor aku di sambut dengan senyum ceria dari pak Agus.
“Kaktus, bagaimana
kabarnya?.”
“Alhamdulillah, baik
pak.” Aku menjawabnya dengan senyum.
Setelah aku duduk, pak
Agus menyodorkan beberapa lembar kertas yang harus kutandatangani. Aku bingung
dan hanya terdiam.
“ Kaktus jangan
bingung, saya mengangkatmu menjadi bendahara di LSM yang saya buat. Saya butuh
tanda tanganmu agar kita bisa dapat dana dari pemerintah.”
Aku masih terdiam.
Belum sedikitpun aku memegang lembaran kertas-kertas itu. Aku memandang pak
Agus sebentar dan akupun tertunduk kembali. Dan pak Agus seakan tau kalau aku
masih butuh penjelasan.
“Baiklah, akan saya
jelaskan. LSM kita ini bergerak di bidang relawan dan pertolongan korban
bencana. Kita butuh LSM ini untuk melebarkan sayap organisasi kita. Dan tahun
ini, kita harus bisa mengakses 100 juta dari dana bansos.” Pak Agus tersenyum.
Tanpa berfikir panjang
lagi, aku mengambil semua kertas-kertas itu dan menandatanganinya. Aku percaya
pada pak Agus, dia adalah pemimpin di organisasi kami.
*****
Pagi
itu, aku baru selesai sholat subuh. Tiba-tiba Hp-ku berdering. Ada panggilan
dari pak Agus. Dalam hati aku bertanya-tanya “ada apa ya?. Tumben pak Agus
telpon pagi-pagi begini.”
“ Assalamu’alaikum pak.”
“Wa’alaikumussalam,
maaf pagi-pagi sudah mengganggu.”
“ Tidak apa-apa pak,
ada apa?.”
“ Begini, minta tolong
wakili saya untuk datang ke kantor partai X hari ini jam 9. Saya tidak bisa hadir
karena ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan. Nanti kalau di sana diminta
membuat kesepakatan, disepakati saja. Terimakasih ya.”
“Hmmm, kantor partai?.”
Aku bergumam.
“ Iya, sekali lagi
terima kasih. Maaf ya, saya sedang ada urusan. Assalamu’alaikum”.
Tut...tut.tut..Hp dimatikan.
Sekali lagi aku sangat
bingung. Pertanyaan-pertanyaan mulai berdatangan di benakku. “Kenapa saya
diminta ke kantor partai X?. Kesepakatan apa yang dimaksud oleh pak Agus?.”
Jam
9 tepat aku sudah berada di kantor partai X. Di ruangan pleno telah hadir
beberapa orang yang kukenal. Beberapa teman dari LSM bahkan ada beberapa dari
gerakan mahasiswa.
“ Inilah politik”, lirih kuberucap pada diriku sendiri. Hari itu kita diberikan pelatihan membuat LPJ yang sesuai dengan aturan. Bagaimana cara meyiasati agar LPJ kita tidak bermasalah ketika diaudit oleh BPK. Bagaimana trik kita ketika membuat LPJ fiktif. Semua terasa begitu memuakkan. Tanpa berfikir panjang, aku kabur dari acara itu padahal moderator mengatakan bahwa setelah break makan akan ada kesepakatan dengan partai X. Aku tidak bisa diam di tempat itu. Terlalu banyak hal yang bertentangan dengan nuraniku. Aku muak mengetahui bahwa beberapa gerakan mahasiswa adalah kaki tangan partai X. Aku tak habis fikir dengan semua yang kulihat dan kudengarkan.
“ Inilah politik”, lirih kuberucap pada diriku sendiri. Hari itu kita diberikan pelatihan membuat LPJ yang sesuai dengan aturan. Bagaimana cara meyiasati agar LPJ kita tidak bermasalah ketika diaudit oleh BPK. Bagaimana trik kita ketika membuat LPJ fiktif. Semua terasa begitu memuakkan. Tanpa berfikir panjang, aku kabur dari acara itu padahal moderator mengatakan bahwa setelah break makan akan ada kesepakatan dengan partai X. Aku tidak bisa diam di tempat itu. Terlalu banyak hal yang bertentangan dengan nuraniku. Aku muak mengetahui bahwa beberapa gerakan mahasiswa adalah kaki tangan partai X. Aku tak habis fikir dengan semua yang kulihat dan kudengarkan.
“Lantas siapa yang
benar-benar independen di negeri ini jika semua di kooptasi oleh partai
politik?. Lantas siapa yang bisa diharapkan oleh rakyat jelata jika semuanya
bisa dibungkam dengan puluhan bahkan ratusan juta dana bansos?.” Sepanjang
jalan pulang aku hanya menggerutu dan menyesali keadaan.
“Bagaimana
pertemuannya?”, ada sms dari pak Agus.
“Maaf pak, aku kabur
dari pertemuan itu. Aku belum tau kesepakatan apa yang akan dibuat setelah
makan.”
“ OK, biar saya yang
kesana nanti.”
Semua sama saja. Aku benar-benar terjebak dalam permainan
politik kelas atas. Aku sebenarnya sangat penasaran dengan kesepakatan apa yang
akan dibuat.
*****
Setelah
hari itu, tak ada kabar dari pak Agus. Akupun diam saja, tidak ingin bertanya
lebih banyak. Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan semua ini.
Sebulan kemudian, pak
agus menelponku. Lima kali Hp-ku berdering. Aku sangat malas untuk
mengangkatnya.
“Kaktus, tolong ke
kantor sekarang. Penting!”. Sms dari pak Agus yang sama sekali tak aku gubris.
Sebenarnya aku bimbang, aku tidak pernah membantah perintah pemiminku kecuali
hari ini. Aku merasa menjadi pembangkang. Tapi, aku tidak bisa memaksa diriku
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Menjadi bendahara sebuah LSM
yang dikooptasi oleh sebuah parpol. Ahh...itu seperti mimpi, mimpi buruk yang
mulai menghancurkan idealismeku. Keinginan untuk berjuang secara independen.
Tanpa harus menghamba pada partai politik. Apalagi jika mengingat bahwa
independennya kami bisa dibayar hanya dengan 100 juta dana bansos. Aku benci.
Keesokan
harinya, pak Agus kembali menelponku. Lima kali, tak kuangkat. Tiba-tiba sms
masuk ke Hp-ku.
“ Saya minta kaktus ke
kantor, saya butuh tanda tangannya untuk mencairkan dana ke bank. Kalau kaktus
tidak datang karena sibuk, saya akan cari ke kost atau dimanapun kaktus berada.”
Setelah berfikir
beberapa saat, akupun membalas sms itu. “Iya pak, aku akan kesana sekarang”.
Aku ingin segera menyelesaikan semua ini. Dengan langkah yang berat aku
mengayuh sepeda ke kantor organisasi. Kantor yang sangat kucintai “Lembaga
Advokasi Untuk Rakyat”. Sebuah organisasi inti yang membawahi beberapa LSM dan
beberapa organisasi gerakan mahasiswa. Organisasi yang telah membesarkanku
menjadi perempuan yang kritis dan memikirkan nasib rakyat jelata. Organisasi
yang baru-baru ini kuketahui sebagai organisasi yang dikooptasi oleh parpol.
Partai X.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.
Silahkan masuk.” Pak Agus menyambutku dengan senyuman khasnya. Dan aku hanya tersenyum.
“ Tolong tanda tangan
dan cairkan uangnya ke bank.”
Tanpa sepatah katapun
aku tanda tangan dan mengambil buku tabungan. Aku pergi mencairkan uang ke
bank. Dalam hati aku meyakinkan diri, setelah ini aku tidak mau jadi bendahara
lagi. Lebih baik aku di kebijakan publik, pergi hearing. Pergi advokasi,
investigasi, dan demonstrasi. Aku tidak mau tau lagi masalah keuangan.
100
juta adalah uang yang sangat banyak bagiku. Untuk pertama kalinya aku membawa
uang sebanyak itu seumur hidupku. Sekembalinya ke kantor, kuserahkan plastik
berisi uang itu kepada pak Agus.
“Maaf pak, aku pamit
pulang.” Aku tidak ingin berlama-lama.
“Sekalian minta tolong,
antarkan 25 juta ke kantor partai X. Bendahara partai X sedang menunggu uang
dari kita.” Pak Agus menyodorkan plastik uang berisi 25 juta.
Kali ini aku tidak bisa
diam saja. Mungkin aku bisa bertahan di organisasi dengan berfikir mungkin ada
kerjasama yang positif antara organisasi dengan partai X. Tapi kini aku tau
kesepakatan yang dimaksud tempo hari. Ini korupsi. Ini penyelewengan uang negara.
Ini salah.
“ Maaf pak, aku tidak
bisa. Ini salah pak, ini sama saja anda mengajarkan aku untuk korupsi. Ini
kebohongan publik.” Suaraku agak tinggi.
“ Kita tidak akan bisa
mendapatkan dana ini tanpa bantuan parpol. Terlalu sulit untuk bisa mengakses
dana tanpa bantuan orang penting. Kita terpaksa menyepakati kesepakatan ini
karena kita tidak punya dana. Iuran anggota organisasi tidak akan pernah cukup
untuk membiayai organisasi.”
“Astagfirullahaladzim....Mohon
maaf pak, aku tidak bisa. Aku tidak mau menjual idealisme hanya demi dana
bansos. Aku tidak mau mengkhianati rakyat.”
Pak Agus terdiam
sejenak. Akupun terpaku. Tak ada yang bicara.
“ Assalmu’alaikum pak.”
Akupun berlalu.
Dua
hari kemudian, tulisanku masuk kolom opini sebuah koran lokal. Darisanalah
organisasi gempar. Audit dari BPK tidak menghasilkan apa-apa. Dan aku tau,
mereka terlalu pintar untuk membuat LPJ fiktif. Itu sudah pasti.
******
Dan
kini aku benar-benar sendiri. Aku menyeka airmataku. Aku masih meringkuk di
pojok kamar bersama amplop surat pemecatan resmi dari organisasi. Aku sangat
sedih, tapi aku senang karena aku bisa terasing karena kebenaran. “ Sistim yang
korup bisa mengubah orang baik menjadi koruptor, sedangkan sistim yang bersih
akan memaksa koruptor untuk menjadi baik”. Ada senyum yang tercipta dari sudut
bibirku. Lirih kuucap kalimat demi kalimat puisinya Soe hok gie.
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi
Dan bercita-cita Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator dan
yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam perjuangan ini?
2 komentar
Masih ada file tulisan yang kakak bilang dimuat di koran lokal? Want to read it
ini fiksi neng......cerpennn..