Sadarku sedang mendung
Aku tak tau kenapa kabut itu datang
Padahal guyuran bulir bening telah membanjiri bumiku semalaman
Aku menanti pelangi paginya
Tapi ia tak kunjung menyapa
Kenapa gerhana itu menjenguk duniaku?
Ada gelap saat kutengok sekat hati
Gumpalan asap bersama darahku
Ia berkelana di setiap rongga sepiku
Membuatku terkulai dalam kidung palsu
Dunia terlihat gelap sepekat laut hitam saat tentara salib mengenyahkan bukti kekuatan intelektual kaum muslim. Tak ada warna yang dapat kulihat selain hitam dan hitam. Aku benar-benar bingung saat namaku tidak tertera dalam daftar nama pengurus BEM Universitas Mataram. Aku menggosok mataku dan melihat papan pengumuman itu tapi namaku sungguh tidak ada di sana. Berbalik dan berusaha menahan dada yang mulai sesak. Bergemuruh. Adrenalinku membuncah sampai membanjiri neo korteks, merembes menuju lembik dan titik putih god spotku pun mulai bereaksi. Otakku mencair.
“ Apakah Tuhan sudah tak percaya kepadaku? “ Aku bertanya membatin. Perih rasanya membayangkan diri hanya akan menjadi penonton di pinggir panggung perjuangan mahasiswa. Aku masih pesimis bisa setegar Soe hok gie, mahasiswa tahun 1966, salah satu mahasiswa terbaik yang pernah dicetak oleh pendidikan Indonesia. Mampu berjuang ditemani kesunyian. Menggetarkan gedung DPRGR dengan keberanian dan tajamnya pena. Aku masih belum mampu.
*****
Aku terkulai dipojok kamar menatap foto bapak proklamator Ir. Soekarno. Malu rasanya kepada manusia pemberani yang begitu bersemangat ini. Jangankan untuk menjadi seorang presiden, hanya sekedar menjadi pengurus BEM saja sudah tak ada yang mempercayaiku. Hatiku meringis. Aku sering mengatakan bahwa aku tak kan pernah meminta apalagi membayar agar seseorang percaya kepadaku. Aku tak peduli dengan penilaian orang lain karena aku selalu punya teori untuk hidupku. Tapi sekarang aku merasakan sakit. Perih.
“ Apakah kepercayaan adalah kebutuhan yang bisa membuat manusia tetap survive ? “ Aku mulai merenung.
Malam menyapa lembut. Rembulan mulai terlihat mengapung di atmosfer ditemani kerlip bintang. Aku tertegun menatap bunga kaktus yang sengaja kutaruh di dekat jendela kamarku. Aku kagum pada ketegarannya. Ratusan tahun menjadi abdi setia ganasnya matahari gurun. Tak pernah mengeluh walau dalam kehausan. Ia mandiri sampai tak butuh pejantan karena ia tumbuhan hermaprodite. Tumbuhan yang memiliki bunga jantan dan bunga betina. Indah tapi tak pernah menyombongkan diri. Tetap sabar sampai makhluk lain menyadari keindahannya. Berebut perhatian ingin melindunginya dari sengatan matahari. Aku ingin seperti kaktus.
*****
Kabut tipis mulai bercengkrama menyambut mesra sang penguasa hari. Kutatap warna jingga kemerahan yang masih terasa lembut. Bergegas melangkah meninggalkan kost. Jalanan sudah mulai bergeliat dari istirahatnya semalaman. Kunikmati kebahagiaan bumi menerima cahaya yang selalu ia tunggu 12 jam. Terlihat senyum di antara air muka anak-anak penjual koran di lampu merah. Ada semangat penjual nasi di pinggir jalan yang terkadang keras kepadanya. Tapi ada juga kerut kemalasan meninggalkan kenikmatan suasana rumah. Kupercepat langkah agar tidak telat sampai ke sekolah. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di tempat PPL, di SMA Nasional, SMA swasta dengan berjuta dinamika di dalamnya. Tidak ada yang menarik di SMA ini kecuali fenomena mengharukan saat para murid melawan gurunya. Murid yang setia dengan obrolan dan gosip di kantin padahal guru sudah lelah menunggu di dalam kelas. Atau musik aneh yang keluar dari mulut murid karena menikmati mimpi ketika guru sedang menjelaskan pelajaran. Sungguh aneh. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan seperti ini.
“ Ya Allah, ujian apa lagi yang kau berikan kepadaku?”. Jiwaku seakan tak mampu kompromi dengan realita yang kini terpampang di pelupuk mataku. Ingin rasanya aku menangis. Tapi tidak mungkin. Aku kan ingin setegar kaktus di dekat jendela kamarku.
Siang itu begitu terik. Matahari terasa kejam menghujamkan sinarnya dengan kekuatan triliunan Kilo Joule. Ditambah lagi dengan efek gas rumah kaca yang membuat udara terasa semakin panas. Rasanya seperti berada di dalam oven tembakau. Gerah. Persediaan lemak dalam otot serasa berlomba untuk menjadi energi yang menyebabkan keringatku mengucur deras bagai anak sungai. Aku mempercepat langkah menuju masjid kampus.
“Assalamu’alaikum”. Sapa Dinda dengan senyum 225 ala pelatihan Emosional Spiritual Quetion. Dia menjabat tanganku dengan erat dan mencium pipiku. Ada hawa teduh saat kutatap dua biji matanya.
“ Wa’alaikumussalam “. Aku membalas seyumnya. Aliran segar menyelinap ke sekujur tubuhku setelah bertemu dengan Dinda. Aku bahagia.
Kuceritakan kepadanya apa yang kurasakan saat ini. Perasaan terbuang karena tidak ada yang mempercayaiku. Perasaan sedih yang menambah beban hati karena harus PPL di SMA swasta. Dia hanya mendengarkan setiap kalimat yang meluncur dari mulutku. Sesekali ia mengangguk sembari melempar senyum yang dengan cepat langsung aku tangkap. Dari sikapnya terlihat kecerdasan dan kelembutan hati yang sangat mengagumkan. Ia bagai bunga meranti yang tak senang memamerkan keindahannya di tempat biasa. Hanya tumbuh di pegunungan. Sungguh mulia di balik penciptaan makhluk seperti Dinda.
“ Ikhlas ya Aisyah. Lakukanlah yang terbaik pada titik dimana kamu berdiri saat ini”. Hanya itu yang terucap dari mulut Dinda saat kami akan berpisah.
*****
Kutatap langit-langit kamarku. Kata-kata Dinda masih terngiang di telingaku. Kata-kata itu telah menembus dasar hatiku. Aku malu.
“ Apakah selama ini aku tidak ikhlas?” Perasaan bersalah pada diri sendiri dan Allah mulai menyerang alam sadarku. Begitu cepat, bagai pecahnya DNA virus saat menginjeksi inangnya. Aku lemas membayangkan semua prasangka yang pernah menjangkiti hatiku. Aku menyeret langkah untuk mengambil air wudhu. Menyelami melodi Alquran dalam tangis yang dalam. Kupejamkan mataku. tubuhku terasa melayang meninggalkan bumi. Ringan dan semakin meninggi. Kumelihat galaksi bimasakti memasuki suatu kosmik yang berdansa. Aku terhenyak beberapa saat. Tatapan mataku berbinar melihat kuasa Allah. Planet-planet berputar berlawanan arah jarum jam. Seperti gerakan elektron mengelilingi inti atom. Bagai gerakan tawaf para jama’ah haji mengelilingi ka’bah. Tidak ada yang keluar dari orbit. Semuanya tunduk pada perintah Allah. Bertasbih.
“ Subhanallah”. 300 milyar bintang berkelip dengan indah. Mempesona. Menakjubkan.
Aku kaget, ternyata tanganku telah menyentuh cincin saturnus. Bermain dengan debu halus yang begitu indah. Tubuhku terasa kembali mendekati bumi. Kusapa rembulan yang terlihat berbinar dengan senyum.
“Kenapa kau begitu setia kepada bumi ? “ Tanyaku.
Rembulan tersenyum lalu berkata lembut, “ Tidakkah kau tau wahai manusia? Aku lelah tapi tak kurasakan saat kulihat senyum bumi. Aku tak peduli dengan matahari yang membuatku hampir hancur. Kutahan sakit terkena radiasi matahari karena aku tak ingin bumi bermuram durja. Aku bahagia saat bumi tetap melihatku indah. Keikhlasanku pada perintah Allah yang membuatku sangat senang menjalani semua ini ”. Rembulan kembali tersenyum, seakan menyuruhku kembali ke bumi. Melakukan hal terbaik sebagai tasbihku seperti planet-planet, seperti elektron dan semua yang ada di jagad raya.
*****
Tertegun dalam hening yang mendalam. Merasakan jiwa yang mulai dihinggapi ketenangan. Metamorfosis keikhlasan yang membuatku kini terasa indah bagai geliat kepak sayap kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya.
“ Astagfirullah..... Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah. Tuhan semesta alam”. Lirih kuberbisik pada angin malam yang menyusup lewat jendela kamarku.
2 komentar
mhm... I do not know about this
kisah lama..he