|
Satu2x fotoku di Bungin..no picture is hoax kata temanku..:) |
Traveling bukan hanya bicara tentang mendaki
gunung yang tinggi, bukan hanya soal menyelami birunya lautan, dan bukan hanya
menikmati putihnya pasir pantai. Lebih dari itu, traveling mengajarkan kita
tentang makna hidup, tentang cinta, tentang keramahan, dan tentang kebahagiaan.
Dan itulah yang kami pelajari di sebuah pulau yang disebut sebagai pulau
terpadat di dunia. Pulau Bungin nama pulau yang menyimpan sejuta keunikan
tersebut. Pernahkah anda mendengar nama pulau itu sebelumnya?. Dimanakah
posisinya di peta Nusa Tenggara Barat?.
Rombongan bloger yang sehari sebelumnya
menikmati eksotisme Pulau Moyo akan mengunjungi Pulau Bungin. Betapa
penasarannya mereka saat mendengar cerita bahwa setiap pemuda Pulau Bungin yang
akan menikah harus menyiapkan tempat membangun rumah dengan cara menyusun
batu-batu karang pada sisi luar pulau. “It’s
so difficult to get married in Bungin Island…hmmmm”,,celetuk Tui bloger
dari Australia. “That amazing”, ucap
Rayyan bloger asal Malaysia yang tidak
sabar untuk sampai ke Pulau nan padat tersebut.
|
Rumah dengan atap seng..Puanasss poll |
|
Tanah kosongnya cuma gang..itu saja |
Perjalanan kami menuju Pulau bungin
sekitar 2 jam dari kota Sumbawa Besar. Perjalanan yang dipenuhi begitu banyak
Tanya oleh para bloger. Mereka semua penasaran bagaimana penduduk Bungin bisa
bertahan hidup dipulau karang. Pulau yang tak ada tumbuhan. Hanya ada rumah dan
bebatuan. Dan rasa penasaran itu terjawab ketika kaki kami menginjak tanah
Bungin. Kami terpukau melihat rumah-rumah yang berdempetan. Rumah panggung dengan
atap seng. Tidak ada satupun rumah yang memiliki pekarangan. Tidak ada taman
atau sedikit ladang hijau yang bisa menyejukkan mata. Bahkan tidak ada rumput
disini. “Wow…so hot here”..ujar
Erick. “How can they stay here?”,,,celetuk Rayyan. Dan yang paling aneh adalah saat kami
melihat bagaimana kambing di pulau ini hidup dengan memakan plastic dan sampah.
“Bahkan kalau ada uang logam yang jatuh, pasti kambing disini akan memakannya”,
kata seorang warga. Kalimat yang membuat kami terpukau. Heran dan takjub. Pasti
hanya manusia kuat yang bisa bertahan di pulau ini.
|
Kasian kambingx g makan rumput,,:) |
Masyarakat Pulau Bungin berasal dari
suku bajo. Suku yang terkenal menguasai hampir sebagian daerah pesisir
Indonesia. Mereka hidup dari hasil sebagai nelayan. Sejak kecil masyarakat
Bungin sudah pandai melaut. Mereka pandai menyelam bahkan free diving untuk mencari ikan di kedalaman laut. Penduduk bungin
sebanyak 3.400 jiwa di pula kecil seluas hanya 8,5 ha. Mereka hidup dengan
sangat sederhana. Mereka sangat ramah dan penuh senyum. Ketika kami sedang
berjalan melihat rumah penduduk, Rayyan bloger asal Malaysia begitu bahagia
bertemu tiga orang nenek menggunakan mukena baru pulang dari masjid. Mereka
bahagia sambil minta berfoto-foto." I
am happy. I really want to back here”, ucap Rayyan yang begitu bahagia
dengan keramahan masyarakat Bungin.
|
Rayyan jadi ingat Omanya di Malaysia..hehe |
|
Anak2 sedang belajar mengaji...siang bolong..panas terik...WOW. |
Kami juga juga mendapat kesempatan untuk mencicipi salah satu makanan khas masyarakat Bungin. Pakasan adalah makanan khas yang terbuat dari olahan ikan segar dan kelapa. Dan yang paling berkesan dari semuanya adalah saat kami diperbolehkan untuk melihat bendera perang zaman dahulu. Usianya sudah ratusan tahun. Bendera itu adalah salah satu peninggalan sejarah masyarakat Bungin yang selamat ketika peristiwa kebakaran yang melanda hampir seluruh pulau.
|
Pakasan..makanan khas masyarakat Bungin |
|
Bendera perang..oh my God..udah ratusan tahun. |
Kesenderhanaan, keramahan, kebahagiaan
adalah hal yang sangat bermakna dalam hidup. Itulah yang kami saksikan disini.
Di Pulau yang memiliki banyak kekurangan. Kurang air, kurang hijau, kurang
sejuk dan serentetan kekurangan lainnya tapi penduduknya berbicara kepada kami
tentang makna hidup. Tentang kekuatan menghadapi tantangan. Tentang arti
bersyukur dengan segala nikmat yang Tuhan berikan. “Bungin…I will back”.