Malam tak dihiasi bintang. Rembulan yang seharusnya menyambut purnama pun tiada. Hanya pekat menguasai lembar langit. Apakah semua itu pertanda?. Ahhh...aku tak terlalu peka. Mungkin karena aku terlalu sibuk menghitung setiap degup jantungku. Aku terlalu sibuk menikmati setiap desir aliran darah yang melewati korteks, lantas lamat-lamat merembes menembus lapisan limbik. Ato mungkin itu bukan aliran darah?..Itu pasti sejenis hormon aneh yang tak biasanya ada. Pantaslah jika aku bingung saat menikmati setiap lompatan sekresinya.
"Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya", kata Soe Hok Gie dalam sebuah puisinya. Dan pada titik itulah kini aku berdiri. Mencari jawaban atas pertanyaan yang beberapa hari ini mengganggu setiap tarikan nafas dalam lelapku. Sebuah tanya yang selalu menghampiri ujung malamku. Sebaris tanya yang tak jua enyah ketika pagiku menyapa. "Berhargakah aku?".
Detik ini aku terpenjara dalam sebuah dunia yang tak kukenali. Dunia yang begitu asing namun menyuguhkan makna. Dunia yang sebenarnya menghimpit dan membuatku merasa kesakitan. Tapi sesekali dunia ini menghadirkan seinci senyuman. Aku ingin memastikan dunia ini benar-benar ada atau hanya fatamorgana. Aku ingin menegaskan warna yang kulihat supaya ia tak selamanya samar dan lambat laun tak terlihat. Demi itu, kukumpulkan keberanian yang terserak. Aku berdiri. Aku melangkah. Karena aku adalah aku yang tak pernah mau berselimut keraguan. Karena aku adalah aku yang selamanya tak akan mampu menikmati kepalsuan. Aku butuh nyata.
Aku duduk menikmati temaram. Gemericik air terdengar merdu meski lama kelamaan terasa menyedihkan. Seakan suaranya ingin menarik bening dari pelupuk mataku. Lama, dan semakin lama. Aku masih disini. Sesekali menatap pekatnya langit. "Dimanakah bintang?". Entah kenapa, aku merasa membutuhkannya. Mungkin kerlipnya bisa menemaniku detik ini. Tapi ia tiada.
Kukeluarkan sebuah apel merah. Kuhirup wanginya.Kubiarkan wangi itu berkelana jauh hingga ke alam bawah sadarku. Lantas aku berbisik lirih, "Kau pernah mendengar istilah rose line?". Hanya ada gemericik air yang sesekali diterbangkan angin. Membasahi wajahku. "Itu adalah garis yang membelah bumi ini. Aku berharap kau akan bisa melewatinya. Mengelilingi dunia seperti yang kau impikan. Tapi kau harus menjadi pemberani untuk bisa melakukannya. Jangan pernah bunuh mimpimu". Hanya ada pekat. "Makanlah apel ini". Lantas aku mulai menggigit apel itu. Rasanya begitu berbeda. Terasa menyesakkan. Harusnya ini akan terasa begitu nikmat. Tapi nikmat itu telah berkelana bersama angin malam. Lantas satu titik bening muncul di sudut mataku. Kubiarkan ia mengalir sesukanya. Aku terus menggigit apel itu hingga tak tersisa.
Kupegangi apel hijau. Kutatap dengan pandangan paling tajam yang pernah kumiliki. Aku kembali berbisik. "Hijau itu warna kesukaanku. Orang-orang bilang itu warna syurga. Tak taulah aku, karena aku tak pernah melihat syurga. Aku hanya berharap agar kau semakin baik dari hari kehari. Agar syurga menjadi akhir dari semua kisah perjalanan". Dan suara air itu terasa semakin mengiris relung. "Makanlah apel ini". Aku hanya mendengar desah nafasku yang semakin berat. Semakin keras aku menahan, semakin sakit itu terasa. Aku mulai mengunyah apel itu. Setiap gigitan adalah caraku menahan setiap bulir yang kini mengalir semakin deras. Aku berada pada titik ini. Titik dimana aku menemukan jawaban atas tanyaku. Bahwa aku di sini. Sendiri.
#Ternyata ini hanyalah mimpiku.